Jaman ini, jarang sekali orang yang tidak memiliki sosial media. Tidak ketinggalan lembaga pendidikan seperti sekolah, kini banyak yang sudah memiliki Akun sosial media. Saya adalah guru yang berperan juga sebagai pemegang akun sekolah, dan ini cerita saya tentang melibatkan siswa dalam dunia konten media sosial.
Pada awalnya saya melihat insight di sosial media sekolah, disana tercantum bahwa pengikut SMP Prawira lebih banyak dari luar Bandung dan Bandung Barat. Setelah itu saya berpikir untuk membuat konten Bahasa Sunda. Saat itu saya mau mencoba melibatkan siswa, pelibatan siswa disini maksudnya talent untuk masuk dalam kamera. Namun ternyata, pada praktiknya sulit sekali mengajak siswa untuk membuat konten bersama. Alasan sulitnya siswa diajak membuat konten karena saat itu semua siswa yang saya ajak di kelas tertentu tidak mau terlihat di depan kamera, ingin cepat-cepat pulang dan terlihat kurang bersemangat untuk membantu membuat konten.
Saya coba merenung sambil berefleksi, mengapa mereka seperti itu? padahal semua konsepnya sudah dibuat tinggal mewujudkan saja dalam bentuk aksi. Namun akhirnya saya sadar, jika melibatkan bukan hanya sekedar mengikutsertakan siswa. Bisa jadi siswa seperti itu karena belum ada rasa memiliki, belum merasa bahwa penting untuk membuat konten edukatif melalui media sosial apalagi melalui akun sekolah, juga belum mengetahui bahwa pengikut paling banyak instagram Prawira itu diluar Bandung.
Saya kemudian bertanya-tanya, siapa (siswa) kira-kira yang bersedia untuk membantu dalam membuat konten. Waktu berlalu, hingga sampailah pada momen Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Saat MPLS, ada siswa yang terpukau melihat video buatan SMA lain. Saya sadar pada responnya, kemudian saya berkata “Kita juga bisa kok buat video kaya gitu!”. Lalu saya mengajak untuk bergabung dalam Tim Multimedia. Saya melakukan closerec melalui aplikasi whatsapp pada siswa yang senang tampil di depan kamera, siswa yang memiliki potensi dalam kegiatan desain serta siswa yang mau ikut aktif terlibat dalam kegiatan di sekolah.
Perekrutan selesai dan akhirnya mereka tergabung. Saya berusaha menyambutnya dengan hangat dan mengumumkan waktu kumpulan pertama. Pada waktu kumpulan pertama, saya mencoba membangun keresahan. Saya menjelaskan apa pentingnya media sosial bagi sekolah, kemudian memberitahu jika orang Lembang sendiri masih banyak yang belum tahu SMP Prawira Lembang. Begitu hangatnya hati ketika mereka mengungkapkan juga keresahan yang sama, obrolan terasa hidup.
Memiliki rasa keresahan yang sama dalam suatu komunitas, adalah modal utama sebelum akhirnya melaksanakan aksi. Setelah keresahan terbangun, kami berdiskusi tentang cara apa saja yang dapat menarik minat pengguna instagram terutama warga di sekitar Prawira, kalau mereka bilangnya “cara biar fyp”. Dalam diskusi tersebut muncul ide seperti membuat tiktok sekolah, jenis-jenis konten dan nama orang yang mau mengajukan diri sebagai penanggung jawab konten.
Setelah pertemuan pertama itu, minggu selanjutnya kami langsung membuat konten pertama tentang “Adab Saat Bertemu Guru”, di sana mereka terlihat antusias dan melakukannya dengan serius meskipun capek karena take video dilakukan setelah pulang sekolah. Kemudian setelah diunggah ke instagram mereka begitu bangga dengan hasilnya, tidak segan juga untuk share ulang videonya.
Konten pertama yang kami buat, berhasil diputar 2,5 ribu kali dalam waktu dua hari. Padahal sebelumnya sepi sekali like. Disamping itu saya tahu, bahwa ada siswa yang belum bisa mendesain, belum paham tentang desain, tapi saya sungguh salut dengan semangat ingin bermanfaatnya dan berani untuk belajar. Ya betul, saat kita ingin melibatkan bisa jadi belum sampai pada melibatkan, namun baru sampai mengikutsertakan.
Menurut saya, pada praktiknya, hal utama yang harus selalu dipertahankan adalah kenyamanan komunitas, buatlah lingkungan yang nyaman dengan mencoba mendengar pendapat-pendapat yang diberikan, kemudian tanggapi dengan antusias. Sehingga harapannya, anggota merasa dapat memberikan manfaat di dalam komunitasnya. Kedua, mulailah dengan hal-hal sederhana atau yang memiliki beban kognitif lebih ringan dulu, sebelum akhirnya mereka bisa dilibatkan lebih jauh. Selain itu cobalah untuk menampung minat siswa, agar mereka terfasilitasi. Ketiga, Refleksi sangat diperlukan agar bisa tetap kembali pada tujuan dan pergerakkan di dalamnya lebih terarah.