Mengajar bahasa Inggris dengan beberapa siswa disabilitas. Ada warna-warni tersendiri yang dialami. Semuanya menjadi indah jika guru terus belajar memperbaiki diri.
Mengajar bahasa Inggris dengan beberapa siswa disabilitas. Ada warna-warni tersendiri yang dialami. Semuanya menjadi indah jika guru terus belajar memperbaiki diri.
Sebagai guru yang mengajar sebuah SMP di pedesaan, saya mngalami banyak hal yang tak terduga. Apalagi mata pelajaran yang saya ajarkan, yaitu Bahasa Inggris, adalah pelajaran yang sangat tidak familiar bagi murid. Aktivitas pembelajaran Bahasa Inggris di SMP saya terasa sangat menantang. Murid kami hampir tidak pernah mendapatkan pelajaran bahasa Inggris secara formal pada tingkat pendidikan sebelumnya. Hal ini mengakibatkan sebagian besar murid menganggap pelajaran bahasa Inggris adalah pelajaran yang paling sulit.
Saya menggunakan cara konvensional untuk memotivasi murid dengan menerapkan reward and punishment dengan harapan mereka lebih senang dan mudah dalam memahami pelajaran bahasa Inggris. Sayangnya, hanya sebagian kecil yang termotivasi. Ada yang biasa-biasa saja terhadap tawaran reward dan punishment. Ada yang tidak terlalu mengejar-ngejar reward tapi sangat senang ketika melihat temannya mendapatkan punishment. Bahkan, ada yang justru merasa bangga ketika mendapatkan punishment. Mereka terkesan mencibir aturan kelas dan sengaja melanggar untuk mengalihkan perhatian teman-temannya.
Saya berpikir bahwa hal ini tidaklah efektif karena justru akan membuat pembelajaran semakin tidak kondusif. Saya terus memikirkan apa hal utama yang menyebabkan mereka mengalami kesulitan dan kurang tertarik dalam belajar bahasa inggris? Bagaimana cara agar mereka senang belajar bahasa Inggris, mudah memahami pelajaran, serta dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan? Saya tak berputus asa. Saya terus memutar otak untuk menyelesaikan tantangan ini.
Tak sedikit di antara murid kami, acuh tak acuh terhadap pelajaran bahasa Inggris. Ada yang menganggap tidak penting belajar bahasa Inggris, “Toh, kita di desa bercakap-cakap menggunakan bahasa daerah,” begitu pikir mereka. Ada juga yang berbuat usil ketika pelajaran bahasa Inggris karena tidak mengerti apa yang sedang dipelajari. Ada juga yang keluar-masuk bergantian meminta izin dengan alasan ingin pergi ke WC, tapi sebenarnya mereka belok ke kantin atau ke tempat lain untuk menghindari pelajaran ini.
Ketika saya coba terapkan pembelajaran menggunakan bantuan teknologi, saya meminta siswa mencari informasi di internet terkait materi yang saya ajarkan. Ternyata hampir semuanya tidak mencari materi melainkan nonton video, main game, update status, hingga scroll timeline media sosial. Yang lebih menyedihkan lagi adalah salah satu siswa kami kedapatan sedang membuka situs yang tidak seharusnya ditonton oleh anak-anak seusia mereka. Namun ia tidak sedikitpun merasa bersalah hanya pura-pura mengatakan, “tidak sengaja bu terbuka itu tadi,” padahal setelah dicek di history pencarian itu, dia telah mengetik xxx pada tab bergambar kaca pembesar itu. Di sini saya merasa gagal menjadi guru. Saya merasa tidak dihargai dan tidak berguna di hadapan murid.
Selesai mengajar saya kembali ke ruang guru dalam keadaan murung. Saya terus merenung memikirkan di bagian mana letak kesalahan saya. Saya juga mengingat-ingat satu persatu karakter murid yang kurang baik di kelas. Saya merenungi perlakuan apa saja yang telah saya lakukan ke mereka sehingga mereka berlaku demikian ketika pelajaran. Ketika saya amati lebih mendalam, saya mendapati bahwa ada beberapa yang sangat aktif, namun aktifnya bukan dalam mengikuti pelajaran, mereka sibuk sendiri dan membuat keributan sehingga mengganggu temannya.
Ada pula yang sangat pasif sehingga tidak diketahui bagaimana reaksinya maupun daya tangkapnya terhadap materi yang saya ajarkan. Saya pun memberanikan diri untuk berdiskusi dengan teman sejawat. Saya menceritakan apa yang telah saya alami di kelas. Ternyata mereka pun mengalami hal yang sama. Berarti selama ini saya telah salah menyimpulkan. Saya mengira pelajaran saya yang sulit dipahami sehingga murid bersikap kurang baik. Ternyata dalam pelajaran lain mereka juga melakukan hal yang sama.
Kami terus mendiskusikan berbagai cara. Kami pun mengikuti kegiatan pengembangan profesi dengan tujuan dapat melakukan aktivitas pembelajaran yang lebih baik. Hingga akhirnya kami diberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan bimbingan teknis guru pendamping khusus bagi siswa berkebutuhan khusus di sekolah. Dari materi bimbingan teknis tersebut ternyata kami baru menyadari bahwa sekolah kami adalah sekolah inklusi yang menerima siswa dengan berbagai latar belakang dan karakteristik. Bahkan ada di antara mereka yang memiliki disabilitas tertentu, seperti disleksia, disgrafia, diskalkulia, CIBI, dan lain sebagainya. Istilah-istilah tersebut baru kami pahami setelah mengikuti pelatihan ini. Padahal, sebagai sekolah inklusi seharusnya kami telah memahami semua itu agar mampu memberikan pelayanan yang berbeda pada masing-masing siswa.
Setelah melakukan pendalaman dengan kepala sekolah serta stakeholder lainnya akhirnya didapati bahwa penyebab utama minimnya informasi mengenai pendidikan yang inklusif adalah karena kurangnya sosialisasi serta praktik pelaksanaannya. Inilah yang menyebabkan aktivitas pembelajaran sering terganggu karena ternyata ada beberapa murid yang mengalami disabilitas dianggap sebagai siswa normal dan diberikan pelajaran yang sama rata. Dalam pembelajaran yang inklusif ini merupakan kesalahan yang sangat fatal. Kami pun mulai mengambil langkah untuk melakukan identifikasi terhadap siswa kami yang dicurigai mengalami disabilitas dengan melakukan asesmen. Kami merasa sangat perlu untuk mengetahui profil murid sebelum pembelajaran agar dapat memetakan rencana pembelajaran sesuai kebutuhan mereka.
Kami mulai merancang pembelajaran inklusif dengan memberikan program individual yang berbeda dengan murid lainnya. Dalam konsep program pembelajaran individual, saya melakukan asesmen diagnostik terlebih dahulu untuk menentukan seberapa jauh murid ini memahami materi yang lalu sebelum memasuki materi baru. Di sini saya tercengang. Ternyata ada salah satu murid yang sangat pasif ketika saya lakukan asesmen, ia tidak dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tidak heran dia hanya diam saja saat ditanya, malah teman di sampingnya yang menimpali, “Teamaki sarei panngajarrang. Tau dangnga dangnga mantong ji antu”. Dalam bahasa Indonesia ucapan ini diartikan, “jangan diajari, anak ini memang sangat bodoh”. Saya cukup terkejut. Murid ini hanya diam saja sedangkan teman yang lainnya mantertawakan dengan sangat keras dan mengucapkan cibiran-cibiran lainnya.
Saya mencoba menenangkan supaya kelas tidak gaduh. Seusai pelajaran saya memanggil murid tersebut dan mengajak guru lain untuk berdiskusi dengan bahasa daerah yang mudah dipahami. Di sini kami mendapati bahwa murid tersebut tidak bisa membaca. Di Sekolah Dasar sudah diusahakan sedemikian rupa namun tetap tidak mampu. Ketika melakukan serangkaian asesmen hingga kami mendapati bahwa ia menderita multidisabilitas. Kombinasi dari disleksia, diskalkulia, dan disgrafia. Dia hanya mampu mengenali dan menulis 4 huruf yaitu N-I-S-A. Ketika saya tanya dengan nada bercanda, apakah itu nama murid perempuan yang dia suka, dia hanya tersenyum. Dari sini mulailah murid ini terbuka dan sedikit berbicara dengan bahasa daerah.
Ada pula murid lain yang dikenal sebagai anak paling nakal di sekolah, ternyata dia memiliki keunikan yaitu CIBI (cerdas istimewa bakat istimewa) berdasarkan hasil dari asesmen diagnostik dengan perangkat khusus. Dia memiliki cara yang berbeda dalam menyelesaikan permasalahan, baik dalam pelajaran maupun dalam hal-hal yang lain. Itulah kenapa dia sering membuat sesuatu yang terlihat aneh dan mengundang perhatian temannya. Dia bisa menyelesaikan tugas lebih cepat dari yang lain namun setelah itu dia berjalan berkeliling kelas hingga berkeliling dari satu ruangan ke ruangan yang lain karena bosan. Jika dipanggil dia selalu membuat alasan-alasan unik yang membuat saya kadang tertawa mendengar jawabannya yang polos. Dari percakapan kami, siswa tersebut akhirnya lebih terbuka dan menceritakan kondisi keluarganya yang kedua orang tuanya sudah berpisah, hanya tinggal bersama neneknya yang sudah renta, mencari uang sendiri, serta bergaul dengan orang-orang yang lebih dewasa dengan perkataan yang kurang baik.
Dari fakta-fakta di atas saya pun merasa bersalah. Saya kurang memahami apa yang murid alami dan saya menganggap semua murid adalah sama. Padahal masing-masing anak memiliki keunikan dengan daya tangkap pembelajaran yang tidak sama. Saya lalu membuatkan materi khusus yang berbeda untuk dua murid dengan disabilitas ini. Saya menurunkan tujuan pembelajaran, konten materi, serta bentuk evaluasi pembelajarannya lebih rendah dari apa yang diamanatkan dalam kurikulum dan silabus pembelajaran. Saya juga menggunakan media dan bahan ajar yang berbeda. Saya melakukan pendekatan secara personal kepada murid tersebut untuk betul-betul mendampingi apa yang dibutuhkannya dalam pelajaran.
Sedangkan bagi murid yang memiliki disabilitas CIBI saya memberikan materi yang lebih tinggi dengan bentuk evaluasi pembelajaran yang lebih rumit agar dia bisa berpikir lebih mendalam lalu mengajari temannya. Sesekali saya juga memintanya menjadi guru untuk materi tertentu dan dia sangat bangga dengan posisi tersebut. Nampak dia sangat senang dan mengatakan pada temannya yang selama ini mencap dirinya sebagai anak nakal dengan mengatakan, “Saya lebih pintar sebenarnya dari kamu, jangan macam-macam dengan saya,” kalimatnya itu pun disambut dengan gelak tawa dari teman sekelasnya. Saya mengingatkan agar tidak menjadi orang yang sombong namun tetap memberikan apresiasi kepadanya.
Kadang juga saya menerapkan pembelajaran kooperatif dengan komposisi kelompok murid yang beragam. Kombinasi antara yang pintar, biasa-biasa saja, hingga yang tertinggal harus menyatu dalam satu kelompok. Tidak seperti dulu, mereka memilih teman kelompoknya sendiri sehingga yang pintar berkelompok dengan yang pintar. Yang tertinggal justru tidak mendapatkan kelompok atau hanya berkelompok dengan sesama mereka. Dengan menggabungkan beragam kemampuan murid dalam satu kelompok, saya meminta pada yang lebih memahami materi dahulu menjadi ketua kelompok sekaligus tutor sebaya bagi temannya yang belum paham. Saya mengapresiasi masing-masing kelebihan mereka. Juga meminta yang lain untuk selalu memberikan apresiasi kepada teman-temannya walaupun jawabannya kurang tepat. Mereka tampak antusias meskipun masih merasa belum mampu, mereka tidak merasa terpojokkan sebab mendapat dukungan dari teman lainnya.
Perlahan saya melihat perubahan-perubahan yang ada di kelas. Ucapan-ucapan perundungan tidak lagi nyaring terdengar. Malah satu sama lain kadang saling memuji jika mereka lebih dahulu dapat memecahkan permasalahan dalam pembelajaran. Mereka pun saling bekerja sama untuk menuntaskan tugas kelompok dan saling mengingatkan jika terjadi kesalahan.
Kami melakukan berbagai modifikasi pembelajaran agar lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. Kami juga melakukan kolaborasi serta evaluasi bersama sekaligus melakukan diseminasi kepada seluruh warga sekolah agar memahami keragaman di sekolah dan bagaimana mengelola keragaman tersebut sehingga tidak menghambat aktivitas pembelajaran, tetapi sebaliknya menjadi bahan pembelajaran untuk saling menghargai dan mendukung dalam rangka mewujudkan tujuan bersama.
Sebagian guru yang kami ajak diskusi ada yang juga menyadari dan kemudian melakukan perubahan dalam kegiatan pembelajarannya. Namun tidak semua guru seperti itu. Masih ada juga guru yang tetap bersikeras dengan metodologi pembelajarannya yang kaku. Biasanya, beberapa murid mengadu tentang guru tertentu yang masih menggunakan metode yang sangat tradisional dalam mengajar. Kami hanya bisa membesarkan hati mereka bahwa memang ada kalanya kita menghadapi kondisi sulit namun kita harus menghadapinya dengan sebaik mungkin. Meskipun kita tidak menyukainya. Suatu saat akan terlewati pula dan kita akan bersyukur jika mampu melewati hal-hal sulit tersebut.
Walaupun mereka tetap merasakan sulitnya pembelajaran dengan sang guru yang masih tradisional, tetapi mereka merasa ada pihak yang mendukung mereka dan tetap menghargai mereka meskipun mereka belum mampu mencapai hasil belajar yang sangat bagus. Mereka merasa bahwa tetap ada guru yang mau berempati kepada dirinya di saat guru yang lain terasa seperti seorang diktator dan suka marah-marah di kelas.
Dari pengalaman ini kami akhirnya semakin mampu untuk memahami latar belakang murid yang beragam dan saling berempati satu sama lain. Jika dahulu sering ada label bahwa anak yang tidak belajar adalah anak yang nakal atau bodoh, kami pun menyesali kalimat tersebut. Sebab hakikatnya tidak ada anak yang bodoh atau nakal. Mereka hanya belum mampu berkembang sesuai harapan karena mereka belum mendapatkan dukungan untuk mengembangkan kemampuannya sesuai dengan potensi yang mereka miliki yang tidak serupa satu dengan lainnya. Kami pun semakin menyadari bahwa sebagai guru tidak boleh berhenti belajar, sebab banyak hal yang belum kita ketahui dalam menghadapi kondisi siswa yang berbeda latar belakang dan karakteristiknya. Dengan asesmen pembelajaran untuk memahami profil murid, semakin memudahkan dalam melaksanakan pembelajaran yang inklusif. Guru justru mendapatkan banyak hal baru dan semakin membuat kami mensyukuri bahwa keragaman yang ada di lingkungan kami menjadi satu hal yang semakin menguatkan gotong royong dan saling berempati satu sama lain.
Mengajar bahasa Inggris dengan beberapa siswa disabilitas. Ada warna-warni tersendiri yang dialami. Semuanya menjadi indah jika guru terus belajar memperbaiki diri.
Sebagai guru yang mengajar sebuah SMP di pedesaan, saya mngalami banyak hal yang tak terduga. Apalagi mata pelajaran yang saya ajarkan, yaitu Bahasa Inggris, adalah pelajaran yang sangat tidak familiar bagi murid. Aktivitas pembelajaran Bahasa Inggris di SMP saya terasa sangat menantang. Murid kami hampir tidak pernah mendapatkan pelajaran bahasa Inggris secara formal pada tingkat pendidikan sebelumnya. Hal ini mengakibatkan sebagian besar murid menganggap pelajaran bahasa Inggris adalah pelajaran yang paling sulit.
Saya menggunakan cara konvensional untuk memotivasi murid dengan menerapkan reward and punishment dengan harapan mereka lebih senang dan mudah dalam memahami pelajaran bahasa Inggris. Sayangnya, hanya sebagian kecil yang termotivasi. Ada yang biasa-biasa saja terhadap tawaran reward dan punishment. Ada yang tidak terlalu mengejar-ngejar reward tapi sangat senang ketika melihat temannya mendapatkan punishment. Bahkan, ada yang justru merasa bangga ketika mendapatkan punishment. Mereka terkesan mencibir aturan kelas dan sengaja melanggar untuk mengalihkan perhatian teman-temannya.
Saya berpikir bahwa hal ini tidaklah efektif karena justru akan membuat pembelajaran semakin tidak kondusif. Saya terus memikirkan apa hal utama yang menyebabkan mereka mengalami kesulitan dan kurang tertarik dalam belajar bahasa inggris? Bagaimana cara agar mereka senang belajar bahasa Inggris, mudah memahami pelajaran, serta dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan? Saya tak berputus asa. Saya terus memutar otak untuk menyelesaikan tantangan ini.
Tak sedikit di antara murid kami, acuh tak acuh terhadap pelajaran bahasa Inggris. Ada yang menganggap tidak penting belajar bahasa Inggris, “Toh, kita di desa bercakap-cakap menggunakan bahasa daerah,” begitu pikir mereka. Ada juga yang berbuat usil ketika pelajaran bahasa Inggris karena tidak mengerti apa yang sedang dipelajari. Ada juga yang keluar-masuk bergantian meminta izin dengan alasan ingin pergi ke WC, tapi sebenarnya mereka belok ke kantin atau ke tempat lain untuk menghindari pelajaran ini.
Ketika saya coba terapkan pembelajaran menggunakan bantuan teknologi, saya meminta siswa mencari informasi di internet terkait materi yang saya ajarkan. Ternyata hampir semuanya tidak mencari materi melainkan nonton video, main game, update status, hingga scroll timeline media sosial. Yang lebih menyedihkan lagi adalah salah satu siswa kami kedapatan sedang membuka situs yang tidak seharusnya ditonton oleh anak-anak seusia mereka. Namun ia tidak sedikitpun merasa bersalah hanya pura-pura mengatakan, “tidak sengaja bu terbuka itu tadi,” padahal setelah dicek di history pencarian itu, dia telah mengetik xxx pada tab bergambar kaca pembesar itu. Di sini saya merasa gagal menjadi guru. Saya merasa tidak dihargai dan tidak berguna di hadapan murid.
Selesai mengajar saya kembali ke ruang guru dalam keadaan murung. Saya terus merenung memikirkan di bagian mana letak kesalahan saya. Saya juga mengingat-ingat satu persatu karakter murid yang kurang baik di kelas. Saya merenungi perlakuan apa saja yang telah saya lakukan ke mereka sehingga mereka berlaku demikian ketika pelajaran. Ketika saya amati lebih mendalam, saya mendapati bahwa ada beberapa yang sangat aktif, namun aktifnya bukan dalam mengikuti pelajaran, mereka sibuk sendiri dan membuat keributan sehingga mengganggu temannya.
Ada pula yang sangat pasif sehingga tidak diketahui bagaimana reaksinya maupun daya tangkapnya terhadap materi yang saya ajarkan. Saya pun memberanikan diri untuk berdiskusi dengan teman sejawat. Saya menceritakan apa yang telah saya alami di kelas. Ternyata mereka pun mengalami hal yang sama. Berarti selama ini saya telah salah menyimpulkan. Saya mengira pelajaran saya yang sulit dipahami sehingga murid bersikap kurang baik. Ternyata dalam pelajaran lain mereka juga melakukan hal yang sama.
Kami terus mendiskusikan berbagai cara. Kami pun mengikuti kegiatan pengembangan profesi dengan tujuan dapat melakukan aktivitas pembelajaran yang lebih baik. Hingga akhirnya kami diberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan bimbingan teknis guru pendamping khusus bagi siswa berkebutuhan khusus di sekolah. Dari materi bimbingan teknis tersebut ternyata kami baru menyadari bahwa sekolah kami adalah sekolah inklusi yang menerima siswa dengan berbagai latar belakang dan karakteristik. Bahkan ada di antara mereka yang memiliki disabilitas tertentu, seperti disleksia, disgrafia, diskalkulia, CIBI, dan lain sebagainya. Istilah-istilah tersebut baru kami pahami setelah mengikuti pelatihan ini. Padahal, sebagai sekolah inklusi seharusnya kami telah memahami semua itu agar mampu memberikan pelayanan yang berbeda pada masing-masing siswa.
Setelah melakukan pendalaman dengan kepala sekolah serta stakeholder lainnya akhirnya didapati bahwa penyebab utama minimnya informasi mengenai pendidikan yang inklusif adalah karena kurangnya sosialisasi serta praktik pelaksanaannya. Inilah yang menyebabkan aktivitas pembelajaran sering terganggu karena ternyata ada beberapa murid yang mengalami disabilitas dianggap sebagai siswa normal dan diberikan pelajaran yang sama rata. Dalam pembelajaran yang inklusif ini merupakan kesalahan yang sangat fatal. Kami pun mulai mengambil langkah untuk melakukan identifikasi terhadap siswa kami yang dicurigai mengalami disabilitas dengan melakukan asesmen. Kami merasa sangat perlu untuk mengetahui profil murid sebelum pembelajaran agar dapat memetakan rencana pembelajaran sesuai kebutuhan mereka.
Kami mulai merancang pembelajaran inklusif dengan memberikan program individual yang berbeda dengan murid lainnya. Dalam konsep program pembelajaran individual, saya melakukan asesmen diagnostik terlebih dahulu untuk menentukan seberapa jauh murid ini memahami materi yang lalu sebelum memasuki materi baru. Di sini saya tercengang. Ternyata ada salah satu murid yang sangat pasif ketika saya lakukan asesmen, ia tidak dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tidak heran dia hanya diam saja saat ditanya, malah teman di sampingnya yang menimpali, “Teamaki sarei panngajarrang. Tau dangnga dangnga mantong ji antu”. Dalam bahasa Indonesia ucapan ini diartikan, “jangan diajari, anak ini memang sangat bodoh”. Saya cukup terkejut. Murid ini hanya diam saja sedangkan teman yang lainnya mantertawakan dengan sangat keras dan mengucapkan cibiran-cibiran lainnya.
Saya mencoba menenangkan supaya kelas tidak gaduh. Seusai pelajaran saya memanggil murid tersebut dan mengajak guru lain untuk berdiskusi dengan bahasa daerah yang mudah dipahami. Di sini kami mendapati bahwa murid tersebut tidak bisa membaca. Di Sekolah Dasar sudah diusahakan sedemikian rupa namun tetap tidak mampu. Ketika melakukan serangkaian asesmen hingga kami mendapati bahwa ia menderita multidisabilitas. Kombinasi dari disleksia, diskalkulia, dan disgrafia. Dia hanya mampu mengenali dan menulis 4 huruf yaitu N-I-S-A. Ketika saya tanya dengan nada bercanda, apakah itu nama murid perempuan yang dia suka, dia hanya tersenyum. Dari sini mulailah murid ini terbuka dan sedikit berbicara dengan bahasa daerah.
Ada pula murid lain yang dikenal sebagai anak paling nakal di sekolah, ternyata dia memiliki keunikan yaitu CIBI (cerdas istimewa bakat istimewa) berdasarkan hasil dari asesmen diagnostik dengan perangkat khusus. Dia memiliki cara yang berbeda dalam menyelesaikan permasalahan, baik dalam pelajaran maupun dalam hal-hal yang lain. Itulah kenapa dia sering membuat sesuatu yang terlihat aneh dan mengundang perhatian temannya. Dia bisa menyelesaikan tugas lebih cepat dari yang lain namun setelah itu dia berjalan berkeliling kelas hingga berkeliling dari satu ruangan ke ruangan yang lain karena bosan. Jika dipanggil dia selalu membuat alasan-alasan unik yang membuat saya kadang tertawa mendengar jawabannya yang polos. Dari percakapan kami, siswa tersebut akhirnya lebih terbuka dan menceritakan kondisi keluarganya yang kedua orang tuanya sudah berpisah, hanya tinggal bersama neneknya yang sudah renta, mencari uang sendiri, serta bergaul dengan orang-orang yang lebih dewasa dengan perkataan yang kurang baik.
Dari fakta-fakta di atas saya pun merasa bersalah. Saya kurang memahami apa yang murid alami dan saya menganggap semua murid adalah sama. Padahal masing-masing anak memiliki keunikan dengan daya tangkap pembelajaran yang tidak sama. Saya lalu membuatkan materi khusus yang berbeda untuk dua murid dengan disabilitas ini. Saya menurunkan tujuan pembelajaran, konten materi, serta bentuk evaluasi pembelajarannya lebih rendah dari apa yang diamanatkan dalam kurikulum dan silabus pembelajaran. Saya juga menggunakan media dan bahan ajar yang berbeda. Saya melakukan pendekatan secara personal kepada murid tersebut untuk betul-betul mendampingi apa yang dibutuhkannya dalam pelajaran.
Sedangkan bagi murid yang memiliki disabilitas CIBI saya memberikan materi yang lebih tinggi dengan bentuk evaluasi pembelajaran yang lebih rumit agar dia bisa berpikir lebih mendalam lalu mengajari temannya. Sesekali saya juga memintanya menjadi guru untuk materi tertentu dan dia sangat bangga dengan posisi tersebut. Nampak dia sangat senang dan mengatakan pada temannya yang selama ini mencap dirinya sebagai anak nakal dengan mengatakan, “Saya lebih pintar sebenarnya dari kamu, jangan macam-macam dengan saya,” kalimatnya itu pun disambut dengan gelak tawa dari teman sekelasnya. Saya mengingatkan agar tidak menjadi orang yang sombong namun tetap memberikan apresiasi kepadanya.
Kadang juga saya menerapkan pembelajaran kooperatif dengan komposisi kelompok murid yang beragam. Kombinasi antara yang pintar, biasa-biasa saja, hingga yang tertinggal harus menyatu dalam satu kelompok. Tidak seperti dulu, mereka memilih teman kelompoknya sendiri sehingga yang pintar berkelompok dengan yang pintar. Yang tertinggal justru tidak mendapatkan kelompok atau hanya berkelompok dengan sesama mereka. Dengan menggabungkan beragam kemampuan murid dalam satu kelompok, saya meminta pada yang lebih memahami materi dahulu menjadi ketua kelompok sekaligus tutor sebaya bagi temannya yang belum paham. Saya mengapresiasi masing-masing kelebihan mereka. Juga meminta yang lain untuk selalu memberikan apresiasi kepada teman-temannya walaupun jawabannya kurang tepat. Mereka tampak antusias meskipun masih merasa belum mampu, mereka tidak merasa terpojokkan sebab mendapat dukungan dari teman lainnya.
Perlahan saya melihat perubahan-perubahan yang ada di kelas. Ucapan-ucapan perundungan tidak lagi nyaring terdengar. Malah satu sama lain kadang saling memuji jika mereka lebih dahulu dapat memecahkan permasalahan dalam pembelajaran. Mereka pun saling bekerja sama untuk menuntaskan tugas kelompok dan saling mengingatkan jika terjadi kesalahan.
Kami melakukan berbagai modifikasi pembelajaran agar lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. Kami juga melakukan kolaborasi serta evaluasi bersama sekaligus melakukan diseminasi kepada seluruh warga sekolah agar memahami keragaman di sekolah dan bagaimana mengelola keragaman tersebut sehingga tidak menghambat aktivitas pembelajaran, tetapi sebaliknya menjadi bahan pembelajaran untuk saling menghargai dan mendukung dalam rangka mewujudkan tujuan bersama.
Sebagian guru yang kami ajak diskusi ada yang juga menyadari dan kemudian melakukan perubahan dalam kegiatan pembelajarannya. Namun tidak semua guru seperti itu. Masih ada juga guru yang tetap bersikeras dengan metodologi pembelajarannya yang kaku. Biasanya, beberapa murid mengadu tentang guru tertentu yang masih menggunakan metode yang sangat tradisional dalam mengajar. Kami hanya bisa membesarkan hati mereka bahwa memang ada kalanya kita menghadapi kondisi sulit namun kita harus menghadapinya dengan sebaik mungkin. Meskipun kita tidak menyukainya. Suatu saat akan terlewati pula dan kita akan bersyukur jika mampu melewati hal-hal sulit tersebut.
Walaupun mereka tetap merasakan sulitnya pembelajaran dengan sang guru yang masih tradisional, tetapi mereka merasa ada pihak yang mendukung mereka dan tetap menghargai mereka meskipun mereka belum mampu mencapai hasil belajar yang sangat bagus. Mereka merasa bahwa tetap ada guru yang mau berempati kepada dirinya di saat guru yang lain terasa seperti seorang diktator dan suka marah-marah di kelas.
Dari pengalaman ini kami akhirnya semakin mampu untuk memahami latar belakang murid yang beragam dan saling berempati satu sama lain. Jika dahulu sering ada label bahwa anak yang tidak belajar adalah anak yang nakal atau bodoh, kami pun menyesali kalimat tersebut. Sebab hakikatnya tidak ada anak yang bodoh atau nakal. Mereka hanya belum mampu berkembang sesuai harapan karena mereka belum mendapatkan dukungan untuk mengembangkan kemampuannya sesuai dengan potensi yang mereka miliki yang tidak serupa satu dengan lainnya. Kami pun semakin menyadari bahwa sebagai guru tidak boleh berhenti belajar, sebab banyak hal yang belum kita ketahui dalam menghadapi kondisi siswa yang berbeda latar belakang dan karakteristiknya. Dengan asesmen pembelajaran untuk memahami profil murid, semakin memudahkan dalam melaksanakan pembelajaran yang inklusif. Guru justru mendapatkan banyak hal baru dan semakin membuat kami mensyukuri bahwa keragaman yang ada di lingkungan kami menjadi satu hal yang semakin menguatkan gotong royong dan saling berempati satu sama lain.
Praktik baik Sebelum Direvisi
Elaborasi Praktik Baik
Sebagai guru yang mengajar sebuah SMP di pedesaan, saya mngalami banyak hal yang tak terduga. Apalagi mata pelajaran yang saya ajarkan, yaitu Bahasa Inggris, adalah pelajaran yang sangat tidak familiar bagi murid. Aktivitas pembelajaran Bahasa Inggris di SMP saya terasa sangat menantang. Murid kami hampir tidak pernah mendapatkan pelajaran bahasa Inggris secara formal pada tingkat pendidikan sebelumnya. Hal ini mengakibatkan sebagian besar murid menganggap pelajaran bahasa Inggris adalah pelajaran yang paling sulit.
Saya menggunakan cara konvensional untuk memotivasi murid dengan menerapkan reward and punishment dengan harapan mereka lebih senang dan mudah dalam memahami pelajaran bahasa Inggris. Sayangnya, hanya sebagian kecil yang termotivasi. Ada yang biasa-biasa saja terhadap tawaran reward dan punishment. Ada yang tidak terlalu mengejar-ngejar reward tapi sangat senang ketika melihat temannya mendapatkan punishment. Bahkan, ada yang justru merasa bangga ketika mendapatkan punishment. Mereka terkesan mencibir aturan kelas dan sengaja melanggar untuk mengalihkan perhatian teman-temannya.
Saya berpikir bahwa hal ini tidaklah efektif karena justru akan membuat pembelajaran semakin tidak kondusif. Saya terus memikirkan apa hal utama yang menyebabkan mereka mengalami kesulitan dan kurang tertarik dalam belajar bahasa inggris? Bagaimana cara agar mereka senang belajar bahasa Inggris, mudah memahami pelajaran, serta dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan? Saya tak berputus asa. Saya terus memutar otak untuk menyelesaikan tantangan ini.
Tak sedikit di antara murid kami, acuh tak acuh terhadap pelajaran bahasa Inggris. Ada yang menganggap tidak penting belajar bahasa Inggris, “Toh, kita di desa bercakap-cakap menggunakan bahasa daerah,” begitu pikir mereka. Ada juga yang berbuat usil ketika pelajaran bahasa Inggris karena tidak mengerti apa yang sedang dipelajari. Ada juga yang keluar-masuk bergantian meminta izin dengan alasan ingin pergi ke WC, tapi sebenarnya mereka belok ke kantin atau ke tempat lain untuk menghindari pelajaran ini.
Ketika saya coba terapkan pembelajaran menggunakan bantuan teknologi, saya meminta siswa mencari informasi di internet terkait materi yang saya ajarkan. Ternyata hampir semuanya tidak mencari materi melainkan nonton video, main game, update status, hingga scroll timeline media sosial. Yang lebih menyedihkan lagi adalah salah satu siswa kami kedapatan sedang membuka situs yang tidak seharusnya ditonton oleh anak-anak seusia mereka. Namun ia tidak sedikitpun merasa bersalah hanya pura-pura mengatakan, “tidak sengaja bu terbuka itu tadi,” padahal setelah dicek di history pencarian itu, dia telah mengetik xxx pada tab bergambar kaca pembesar itu. Di sini saya merasa gagal menjadi guru. Saya merasa tidak dihargai dan tidak berguna di hadapan murid.
Selesai mengajar saya kembali ke ruang guru dalam keadaan murung. Saya terus merenung memikirkan di bagian mana letak kesalahan saya. Saya juga mengingat-ingat satu persatu karakter murid yang kurang baik di kelas. Saya merenungi perlakuan apa saja yang telah saya lakukan ke mereka sehingga mereka berlaku demikian ketika pelajaran. Ketika saya amati lebih mendalam, saya mendapati bahwa ada beberapa yang sangat aktif, namun aktifnya bukan dalam mengikuti pelajaran, mereka sibuk sendiri dan membuat keributan sehingga mengganggu temannya.
Ada pula yang sangat pasif sehingga tidak diketahui bagaimana reaksinya maupun daya tangkapnya terhadap materi yang saya ajarkan. Saya pun memberanikan diri untuk berdiskusi dengan teman sejawat. Saya menceritakan apa yang telah saya alami di kelas. Ternyata mereka pun mengalami hal yang sama. Berarti selama ini saya telah salah menyimpulkan. Saya mengira pelajaran saya yang sulit dipahami sehingga murid bersikap kurang baik. Ternyata dalam pelajaran lain mereka juga melakukan hal yang sama.
Kami terus mendiskusikan berbagai cara. Kami pun mengikuti kegiatan pengembangan profesi dengan tujuan dapat melakukan aktivitas pembelajaran yang lebih baik. Hingga akhirnya kami diberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan bimbingan teknis guru pendamping khusus bagi siswa berkebutuhan khusus di sekolah. Dari materi bimbingan teknis tersebut ternyata kami baru menyadari bahwa sekolah kami adalah sekolah inklusi yang menerima siswa dengan berbagai latar belakang dan karakteristik. Bahkan ada di antara mereka yang memiliki disabilitas tertentu, seperti disleksia, disgrafia, diskalkulia, CIBI, dan lain sebagainya. Istilah-istilah tersebut baru kami pahami setelah mengikuti pelatihan ini. Padahal, sebagai sekolah inklusi seharusnya kami telah memahami semua itu agar mampu memberikan pelayanan yang berbeda pada masing-masing siswa.
Setelah melakukan pendalaman dengan kepala sekolah serta stakeholder lainnya akhirnya didapati bahwa penyebab utama minimnya informasi mengenai pendidikan yang inklusif adalah karena kurangnya sosialisasi serta praktik pelaksanaannya. Inilah yang menyebabkan aktivitas pembelajaran sering terganggu karena ternyata ada beberapa murid yang mengalami disabilitas dianggap sebagai siswa normal dan diberikan pelajaran yang sama rata. Dalam pembelajaran yang inklusif ini merupakan kesalahan yang sangat fatal. Kami pun mulai mengambil langkah untuk melakukan identifikasi terhadap siswa kami yang dicurigai mengalami disabilitas dengan melakukan asesmen. Kami merasa sangat perlu untuk mengetahui profil murid sebelum pembelajaran agar dapat memetakan rencana pembelajaran sesuai kebutuhan mereka.
Kami mulai merancang pembelajaran inklusif dengan memberikan program individual yang berbeda dengan murid lainnya. Dalam konsep program pembelajaran individual, saya melakukan asesmen diagnostik terlebih dahulu untuk menentukan seberapa jauh murid ini memahami materi yang lalu sebelum memasuki materi baru. Di sini saya tercengang. Ternyata ada salah satu murid yang sangat pasif ketika saya lakukan asesmen, ia tidak dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tidak heran dia hanya diam saja saat ditanya, malah teman di sampingnya yang menimpali, “Teamaki sarei panngajarrang. Tau dangnga dangnga mantong ji antu”. Dalam bahasa Indonesia ucapan ini diartikan, “jangan diajari, anak ini memang sangat bodoh”. Saya cukup terkejut. Murid ini hanya diam saja sedangkan teman yang lainnya mantertawakan dengan sangat keras dan mengucapkan cibiran-cibiran lainnya.
Saya mencoba menenangkan supaya kelas tidak gaduh. Seusai pelajaran saya memanggil murid tersebut dan mengajak guru lain untuk berdiskusi dengan bahasa daerah yang mudah dipahami. Di sini kami mendapati bahwa murid tersebut tidak bisa membaca. Di Sekolah Dasar sudah diusahakan sedemikian rupa namun tetap tidak mampu. Ketika melakukan serangkaian asesmen hingga kami mendapati bahwa ia menderita multidisabilitas. Kombinasi dari disleksia, diskalkulia, dan disgrafia. Dia hanya mampu mengenali dan menulis 4 huruf yaitu N-I-S-A. Ketika saya tanya dengan nada bercanda, apakah itu nama murid perempuan yang dia suka, dia hanya tersenyum. Dari sini mulailah murid ini terbuka dan sedikit berbicara dengan bahasa daerah.
Ada pula murid lain yang dikenal sebagai anak paling nakal di sekolah, ternyata dia memiliki keunikan yaitu CIBI (cerdas istimewa bakat istimewa) berdasarkan hasil dari asesmen diagnostik dengan perangkat khusus. Dia memiliki cara yang berbeda dalam menyelesaikan permasalahan, baik dalam pelajaran maupun dalam hal-hal yang lain. Itulah kenapa dia sering membuat sesuatu yang terlihat aneh dan mengundang perhatian temannya. Dia bisa menyelesaikan tugas lebih cepat dari yang lain namun setelah itu dia berjalan berkeliling kelas hingga berkeliling dari satu ruangan ke ruangan yang lain karena bosan. Jika dipanggil dia selalu membuat alasan-alasan unik yang membuat saya kadang tertawa mendengar jawabannya yang polos. Dari percakapan kami, siswa tersebut akhirnya lebih terbuka dan menceritakan kondisi keluarganya yang kedua orang tuanya sudah berpisah, hanya tinggal bersama neneknya yang sudah renta, mencari uang sendiri, serta bergaul dengan orang-orang yang lebih dewasa dengan perkataan yang kurang baik.
Dari fakta-fakta di atas saya pun merasa bersalah. Saya kurang memahami apa yang murid alami dan saya menganggap semua murid adalah sama. Padahal masing-masing anak memiliki keunikan dengan daya tangkap pembelajaran yang tidak sama. Saya lalu membuatkan materi khusus yang berbeda untuk dua murid dengan disabilitas ini. Saya menurunkan tujuan pembelajaran, konten materi, serta bentuk evaluasi pembelajarannya lebih rendah dari apa yang diamanatkan dalam kurikulum dan silabus pembelajaran. Saya juga menggunakan media dan bahan ajar yang berbeda. Saya melakukan pendekatan secara personal kepada murid tersebut untuk betul-betul mendampingi apa yang dibutuhkannya dalam pelajaran.
Sedangkan bagi murid yang memiliki disabilitas CIBI saya memberikan materi yang lebih tinggi dengan bentuk evaluasi pembelajaran yang lebih rumit agar dia bisa berpikir lebih mendalam lalu mengajari temannya. Sesekali saya juga memintanya menjadi guru untuk materi tertentu dan dia sangat bangga dengan posisi tersebut. Nampak dia sangat senang dan mengatakan pada temannya yang selama ini mencap dirinya sebagai anak nakal dengan mengatakan, “Saya lebih pintar sebenarnya dari kamu, jangan macam-macam dengan saya,” kalimatnya itu pun disambut dengan gelak tawa dari teman sekelasnya. Saya mengingatkan agar tidak menjadi orang yang sombong namun tetap memberikan apresiasi kepadanya.
Kadang juga saya menerapkan pembelajaran kooperatif dengan komposisi kelompok murid yang beragam. Kombinasi antara yang pintar, biasa-biasa saja, hingga yang tertinggal harus menyatu dalam satu kelompok. Tidak seperti dulu, mereka memilih teman kelompoknya sendiri sehingga yang pintar berkelompok dengan yang pintar. Yang tertinggal justru tidak mendapatkan kelompok atau hanya berkelompok dengan sesama mereka. Dengan menggabungkan beragam kemampuan murid dalam satu kelompok, saya meminta pada yang lebih memahami materi dahulu menjadi ketua kelompok sekaligus tutor sebaya bagi temannya yang belum paham. Saya mengapresiasi masing-masing kelebihan mereka. Juga meminta yang lain untuk selalu memberikan apresiasi kepada teman-temannya walaupun jawabannya kurang tepat. Mereka tampak antusias meskipun masih merasa belum mampu, mereka tidak merasa terpojokkan sebab mendapat dukungan dari teman lainnya.
Perlahan saya melihat perubahan-perubahan yang ada di kelas. Ucapan-ucapan perundungan tidak lagi nyaring terdengar. Malah satu sama lain kadang saling memuji jika mereka lebih dahulu dapat memecahkan permasalahan dalam pembelajaran. Mereka pun saling bekerja sama untuk menuntaskan tugas kelompok dan saling mengingatkan jika terjadi kesalahan.
Kami melakukan berbagai modifikasi pembelajaran agar lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. Kami juga melakukan kolaborasi serta evaluasi bersama sekaligus melakukan diseminasi kepada seluruh warga sekolah agar memahami keragaman di sekolah dan bagaimana mengelola keragaman tersebut sehingga tidak menghambat aktivitas pembelajaran, tetapi sebaliknya menjadi bahan pembelajaran untuk saling menghargai dan mendukung dalam rangka mewujudkan tujuan bersama.
Sebagian guru yang kami ajak diskusi ada yang juga menyadari dan kemudian melakukan perubahan dalam kegiatan pembelajarannya. Namun tidak semua guru seperti itu. Masih ada juga guru yang tetap bersikeras dengan metodologi pembelajarannya yang kaku. Biasanya, beberapa murid mengadu tentang guru tertentu yang masih menggunakan metode yang sangat tradisional dalam mengajar. Kami hanya bisa membesarkan hati mereka bahwa memang ada kalanya kita menghadapi kondisi sulit namun kita harus menghadapinya dengan sebaik mungkin. Meskipun kita tidak menyukainya. Suatu saat akan terlewati pula dan kita akan bersyukur jika mampu melewati hal-hal sulit tersebut.
Walaupun mereka tetap merasakan sulitnya pembelajaran dengan sang guru yang masih tradisional, tetapi mereka merasa ada pihak yang mendukung mereka dan tetap menghargai mereka meskipun mereka belum mampu mencapai hasil belajar yang sangat bagus. Mereka merasa bahwa tetap ada guru yang mau berempati kepada dirinya di saat guru yang lain terasa seperti seorang diktator dan suka marah-marah di kelas.
Dari pengalaman ini kami akhirnya semakin mampu untuk memahami latar belakang murid yang beragam dan saling berempati satu sama lain. Jika dahulu sering ada label bahwa anak yang tidak belajar adalah anak yang nakal atau bodoh, kami pun menyesali kalimat tersebut. Sebab hakikatnya tidak ada anak yang bodoh atau nakal. Mereka hanya belum mampu berkembang sesuai harapan karena mereka belum mendapatkan dukungan untuk mengembangkan kemampuannya sesuai dengan potensi yang mereka miliki yang tidak serupa satu dengan lainnya. Kami pun semakin menyadari bahwa sebagai guru tidak boleh berhenti belajar, sebab banyak hal yang belum kita ketahui dalam menghadapi kondisi siswa yang berbeda latar belakang dan karakteristiknya. Dengan asesmen pembelajaran untuk memahami profil murid, semakin memudahkan dalam melaksanakan pembelajaran yang inklusif. Guru justru mendapatkan banyak hal baru dan semakin membuat kami mensyukuri bahwa keragaman yang ada di lingkungan kami menjadi satu hal yang semakin menguatkan gotong royong dan saling berempati satu sama lain.
Jika Anda mengalami kendala dalam scrolling, scroll di luar dari area Live Chat yang berwarna hitam.