Saya adalah guru di SMP Unggulan Terpadu Bumi Kartini Jepara yang mengampu mata pelajaran IPA dan Prakarya serta menjadi koordinator Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Tujuan Pendidikan Nasional adalah mewujudkan pelajar sepanjang hayat yang kompeten, berkarakter, dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Perwujudan nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila dapat diwujudkan dengan menerapkan budaya positif di kelas maupun di sekolah. Disiplin positif dalam budaya sekolah akan membuat perubahan baru yang dapat menggerakkan seluruh komponen sekolah. Dengan membiasakan hal-hal yang positif, maka akan terwujud karakter yang positif dan jika dilakukan terus menerus, maka akan menjadi budaya positif. Akan tetapi, pada kenyataannya masih ada murid di SMP-UT Bumi Kartini Jepara yang melanggar peraturan sekolah atau melakukan kesalahan kemudian saat diberikan konsekuensi atas tindakannya menjadikan murid bukan termotivasi untuk memperbaiki diri melainkan terulangnya kesalahan bahkan murid membenci karena mendapatkan hukuman dari guru. Permasalahan bukan hanya berasal dari murid saja melainkan dari penerapan berbagai metode pendisiplinan yang dilakukan oleh guru seringkali masih menggunakan metode yang hanya menimbulkan motivasi ekstrinsik, seperti pemberian hukuman, mengambil kesenangan murid, bahkan sampai terucap hinaan, celaan dengan memberikan label murid nakal, murid bandel, murid tidak disiplin, dan label-label lainnya sehingga membuat murid merasa bersalah dan putus asa.
Pada saat ini, saya adalah Guru Penggerak Angkatan 5 Kabupaten Jepara yang telah mendapatkan materi serta ilmu tentang budaya positif. Selain di dalam modul CGP, materi budaya positif ini juga saya dapatkan pada Platform Merdeka Mengajar (PMM). Setelah saya mendapatkan ilmu tentang budaya positif, saya merenungi dan berpikir bahwa ternyata selama ini saya masih sering menggunakan hukuman kepada murid yang melakukan kesalahan, sehingga hal ini membuat murid merasa takut dan tidak terbuka mengungkapkan alasannya melakukan tindakan tersebut. Saya juga merasa bahwa tindakan saya ini merupakan tindakan yang hanya bersifat sebagai motivasi ekstrinsik yang berdampak jangka pendek saja. Akan tetapi, setelah saya mengetahui ilmu tentang budaya positif saya telah mengimplementasikan diantaranya dengan membuat keyakinan kelas, memberikan motivasi intrinsik saat menangani murid yang melakukan tindakan indisipliner, meniadakan hukuman dan penghargaan, mempraktikkan segitiga restitusi serta membagikan pemahaman saya atau melakukan diseminasi kepada guru di sekolah saya.
Adapun praktik baik yang telah saya lakukan ini bertujuan untuk menumbuhkan dan memperkuat budaya positif dengan berpedoman pada nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila dengan menerapkan segitiga restitusi dan menciptakan murid yang merdeka serta meyakini nilai-nilai kebajikan universal dengan motivasi intrinsik. Yang menjadi tolak ukur keberhasilan praktik baik ini adalah murid mampu memecahkan masalah yang berasal dari diri sendiri dan kembali pada nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila.
Setelah mengingat dan merenungi kembali, ada beberapa hal yang menarik di luar dugaan saya. Hal ini membuat saya berefleksi, ternyata sebagai guru saya sering kali menerapkan metode disiplin dengan memberikan hukuman dan hadiah yang menimbulkan motivasi ekstrinsik, sehingga berakibat jangka pendek pada murid. Awalnya, saya berharap dengan metode ini murid akan menyadari kesalahannya dan tidak akan mengulanginya lagi. Akan tetapi, pada kenyataannya beberapa murid kembali melakukan kesalahan yang sama. Hal tersebut, membuat saya menyadari saya bahwa metode yang saya jalankan sebelumnya kurang efektif untuk mendisiplinkan murid, sehingga saya membutuhkan metode lain yang lebih tepat dan memberikan dampak jangka panjang.
Pada saat saya mengikuti Program Guru Penggerak dan mempelajari PMM, saya menemukan strategi yang tepat untuk mewujudkannya budaya positif melalui penerapan segitiga restitusi. Selanjutnya, saya berkoordinasi dengan kepala sekolah, waka kurikulum, waka kesiswaan dan menjelaskan pentingnya penanaman budaya positif, pembentukan keyakinan kelas, dan meminta izin untuk meyampaikan tindakan aksi nyata. Saya mengumpulkan komunitas praktisi dan wali kelas untuk melakukan diseminasi pemahaman materi tentang budaya positif khususnya segitiga restitusi. Segitiga restitusi adalah suatu proses dialog yang dijalankan oleh guru atau orang tua agar dapat menghasilkan murid yang mandiri dan bertanggung jawab. Pada saat guru di posisi manajer, aspek yang dikembangkan pada murid adalah motivasi intrinsik. Motivasi ini diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai kebajikan yang akan tumbuh dan berkembang menjadi suatu kebiasaan positif yang akhirnya akan membentuk karakter murid dan menjadi budaya positif dalam diri, kelas, maupun sekolah.
Berbagai tantangan untuk mewujudkan budaya positif melalui penerapan segitiga restitusi ini tidaklah mudah. Ada beberapa tantangan yang harus saya hadapi, di antaranya metode pendisiplinan dengan segitiga restitusi ini membutuhkan waktu dan proses yang relatif lama, sehingga solusi-solusi yang seharusnya muncul dari dalam diri murid itu sendiri terkadang tidak tercapai. Akan tetapi justru solusi tersebut mereka dapatkan dari pihak lain. Tantangan selanjutnya berasal dari rekan guru di sekolah saya yang belum mendapatkan materi tentang budaya positif, padahal untuk mewujudkan budaya positif tersebut membutuhkan kolaborasi bersama rekan sejawat. Berbagai tantangan ini tidak membuat saya berputus asa, memang butuh banyak belajar dan berproses untuk menerapkan segitiga restitusi ini. Yang terpenting adalah bagaimana saya dan rekan guru lainnya dapat memperbaiki tindakan-tindakan dalam mendisiplinkan murid menjadi pribadi yang lebih baik, mandiri, dan bertanggung jawab.
Adapun praktik baik yang telah saya lakukan yaitu dengan menerapkan segitiga restitusi pada beberapa kasus tindakan kesalahan yang dilakukan oleh murid. Kasus pertama yang saya tangani adalah kegiatan evaluasi pada jam mata pelajaran IPA. Saya sebagai guru mapel IPA tidak bisa hadir ke sekolah karena ada dinas luar. Saya meminta tolong kepada rekan sejawat saya yang bertugas sebagai guru piket di hari itu untuk mengawasi kegiatan evaluasi di kelas saya. Akan tetapi, pada saat evaluasi berlangsung ada salah satu murid yang ketahuan mencontek temannya. Rekan saya melaporkan hal ini kepada saya. Setelah itu, saya pun langsung menerapkan metode segitiga restitusi. Langkah pertama, menstabilkan identitas. Saya memberikan beberapa pernyataan, di antaranya membuat kesalahan merupakan bagian dari proses pembelajaran dan berbuat salah itu hal yang manusiawi, tidak ada manusia yang sempurna, ibu juga pernah melakukan kesalahan dan tentunya kita bisa menyelesaikan masalah ini. Saya juga menyampaikan bahwa saya tidak berfokus pada masalah, tetapi solusi dari permasalahan itulah yang lebih penting. Tujuan dari pernyataan yang saya sampaikan adalah menggiring identitas murid dari identitas gagal ke identitas sukses. Akan tetapi, apabila saya hanya mengkritik perilaku murid yang kurang pantas, maka murid tersebut akan tetap mengalami identitas gagal dan perilakunya tidak akan berubah. Oleh karena itu saya berusaha menyampaikan pemahaman pada murid bahwa kesalahan ataupun gagal adalah hal biasa, dan merupakan pembelajaran untuk menjadi lebih baik. Melalui tahapan ini, murid tidak akan merasa sedih dan menjadi lebih tenang. Selanjutnya saya menggiring pada penyelesaian masalah yang memunculkan ide-ide aksi nyata yang berasal dari dalam murid itu sendiri. Proses ini melatih murid untuk bertanggung jawab dengan apa yang telah dilakukannya. Sebagai guru memang tidak mudah mengendalikan diri saat melihat murid-murid melakukan kesalahan. Akan tetapi, posisi kontrol dan praktik pendisiplinan yang tepat harus dikuasai dan dipahami oleh setiap guru.
Langkah kedua yang saya lakukan, yaitu validasi kebutuhan yang salah. Tujuannya untuk membantu siswa mengenali kebutuhan dasar mereka seperti power, freedom, love and belonging, fun/survival yang ingin dipenuhinya ketika melakukan suatu kesalahan. Pada langkah ini saya menyampaikan beberapa pertanyaan antara lain, seperti kamu pasti punya alasan mengapa melakukannya? Maukah kamu belajar cara lain untuk mendapat yang kamu butuhkan tanpa harus mencontek? Apakah kamu bisa tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi? Berdasarkan beberapa pertanyaan yang saya sampaikan, murid dapat kembali pada posisi positif. Pada tahap ini saya memegang prinsip bahwa setiap perilaku berusaha memenuhi suatu kebutuhan tertentu. Dengan mengenali dan mengakui kebutuhan murid pada akhirnya akan memperbaiki hubungan murid dan guru. Sebagai guru pernyataan dan pertanyaan yang disampaikan kepada murid sebaiknya tidak bernada kasar, menyudutkan, menghakimi dan tidak ada lagi kekerasan serta peraturan yang bersifat menyiksa. Tetapi harus dengan disiplin positif serta tetap memperhatikan kebutuhan dan kepentingan orang lain.
Langkah terakhir, yaitu menanyakan keyakinan. Hal ini bertujuan agar murid dapat menghubungkan kesalahannya dengan norma sosial dan nilai-nilai yang mendasari manusia berinteraksi dengan orang lain atau nilai keyakinan kelas yang sudah dibentuk sebelumnya. Selanjutnya, saya menyampaikan beberapa pertanyaan seperti apa nilai yang kita percaya di kelas kita? Kamu ingin jadi anak seperti apa? Apa yang kamu rasakan? Ketika kamu melakukan itu, kamu menjadi orang yang seperti apa? Murid merespon pertanyaan saya dan dapat mengaitkan keyakinan-keyakinannya dengan tindakannya yang salah dan pemikiran yang telah bergeser ingin menjadi orang yang diinginkan sesuai dengan nilai-nilai kebajikan yang dimiliki.
Segitiga restitusi ini selalu saya terapkan untuk merespon murid yang melakukan tindakan kesalahan, sehingga murid dapat kembali kepada keyakinan yang sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila. Strategi mewujudkan budaya positif melalui segitiga restitusi ini juga sudah saya bagikan kepada rekan sejawat melalui kegiatan diseminasi sehingga kita dapat mengimplementasikan secara bersama-sama dan konsisten. Setiap guru telah memahami posisi kontrol sebagai manajer dan tidak ada lagi hukuman untuk murid yang melakukan kesalahan atau pelanggaran melainkan kembali kepada keyakinan kelas dan menciptakan motivasi intrinsik dari dalam diri murid yang akan berdampak dalam jangka panjang. Selain diseminasi kepada rekan guru di sekolah, saya juga mendesiminasikan kepada rekan guru pembimbing boarding yang mendampingi murid-murid saat di boarding sehingga praktik pendisiplinan dengan segitiga restitusi dapat dijalankan. Pengalaman saya menerapkan segitiga restitusi ini juga saya bagikan ketika diundang menjadi pemateri di IAIN Kudus dan beberapa kepala sekolah serta guru di SD Negeri di wilayah Kabupaten Jepara tentang pentingnya budaya positif ini. Tugas dan peran saya adalah menerapkan segitiga restitusi untuk mengambil tindakan kedisiplinan serta melakukan diseminasi kepada rekan sejawat bagaimana cara yang benar dalam mendisiplinkan murid. Seluruh guru dan wali murid perlu mengetahui dan menguasai keterampilan dalam melakukan segitiga restitusi ini agar menyelesaikan segala permasalahan dan tindakan kedisiplinan dari murid dapat diatasi dengan baik. Saya yakin jika budaya positif ini terwujud di sekolah-sekolah seluruh Indonesia, maka pembelajaran akan menyenangkan dan berpihak pada murid. Selain mengajar dan membimbing, sebagai guru kita juga harus mendengarkan dan memahami para murid karena kita bekerja bukan dengan benda, melainkan dengan calon manusia hebat yang terus berkembang dari hari ke hari untuk menjadi insan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang berpedoman pada Profil Pelajar Pancasila.