Murid belajar melakukan riset sederhana di mapel Projek IPAS. Langkah yang ditempuh antara lain mengidentifikasi masalah, mendalami masalah, mencari data, menganalisis dan menyimpulkan
Murid belajar melakukan riset sederhana di mapel Projek IPAS. Langkah yang ditempuh antara lain mengidentifikasi masalah, mendalami masalah, mencari data, menganalisis dan menyimpulkan
Di kurikulum merdeka ada sebuah pelajaran yang nomenklaturnya cukup unik, yaitu Projek IPAS. Keunikannya terletak pada kata “Projek” yang menunjukkan bagaimana metode belajar yang digunakan selama pembelajaran. Bagi saya, metode projek tidak mudah dipraktikkan. Apalagi jika gurunya terbiasa menggunakan teknik ceramah dan membuat muridnya duduk lama mendengarkan. Saya termasuk dalam kategori ini.
Setelah membaca rasional, karakteristik, tujuan mata pelajaran, dan capaian pembelajaran Projek IPAS, saya mulai mengerti alasan mapel ini diadakan. IPAS, atau sains alam atau sosial, tidak cuma mendorong murid menghafal dan mengerti IPAS sebagai produk, tetapi juga (dan ini yang mungkin tak kalah penting) memperkenalkan serta membiasakan murid melakukan saing (doing science). Melakukan sains berarti bekerja layaknya ilmuwan, tentu dalam level murid sekolah. Dengan kata lain murid melakukan riset. Melalui kebiasaan meriset ini murid dapat lebih kritis dan peka terhadap permasalahan lingkungan sekitar.
Saya tidak tahu betul bagaimana agar siswa bisa meriset. Awalnya saya pikir riset adalah kegiatan penelitian yang serius, ketat, dan perlu menaati teknik-teknik statistik yang rumit. Namun setelah membaca tentang metode projek bagi anak sekolah, saya cukup mendapat gambaran. Murid tidak perlu melakukan sama persis seperti laiknya ilmuwan, tapi cukup hanya menempuh tahapan-tahapan tertentu. Tahapan ini semacam syarat dasar bagi tindakan meriset, antara lain mengidentifikasi masalah, mendalami masalah, mencari data, menganalisis, dan menyimpulkan.
Pertanyaan yang kemudian timbul di benak saya adalah apakah murid-murid saya bisa melakukan itu semua, apakah mereka bisa merumuskan masalah yang relevan untuk diteliti, apakah mereka nantinya harus dituntun secara runtut dan detail. Pertanyaan itu tiba-tiba memunculkan rasa tidak percaya di diri saya. Tetapi ini harus dicoba agar saya tahu bagaimana sebenarnya.
Dalam seminggu ada enam jam pelajaran di mapel Projek IPAS. Panjangnya rentang waktu ini sebetulnya merupakan keuntungan bagi berlangsungnya projek. Berangkat dari situ saya susun rencana kegiatan belajar untuk 1 tema projek yang lamanya satu bulan atau 24 JP agar semua tahapan di atas dapat terlaksana.
Kelas dibagi menjadi enam kelompok, dimana masing-masing kelompok terdiri dari enam murid. Sambil duduk berkelompok saya ajak mereka ngobrol soal permasalahan lingkungan yang jamak terjadi di lingkungan sekitar. Rata-rata mereka menjawab: sampah. Kemudian saya gali lebih jauh dengan melontarkan beberapa pertanyaan berikut: “mengapa sampah menjadi masalah buat kita?”, “kenapa sih lingkungan sekitar kita tidak bisa seperti di negara Singapura, misalnya?”, “apakah ada yang bisa kita lakukan?”, “apakah ada hal-hal yang betul-betul dapat kita lakukan sekarang, besok, atau lusa?”.
Umumnya, jawaban murid masih normatif dan hampir semua berasal dari opini mereka. Jarang sekali yang menyertakan informasi aktual atau yang faktual sebagai penguat. Jadi, selama mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, saya kemudian bertanya lagi, “bagaimana kalian tahu itu?”, “apakah berdasarkan angan-angan di pikiran, opini, ataukah mengarang saja?”, “darimana kalian tahu bahwa masyarakat itu malas membuang sampah ke tempat sampah?”, “bagaimana kalian tahu jika masyarakat tidak berusaha apa-apa untuk mengatasi masalah sampah?”. Pertanyaan ini menggiring murid untuk mencari data. Salah satu tujuan langkah ini adalah mengurangi kelatahan murid dalam menjawab permasalahan hanya dengan opini.
Pada tahap pencarian data, saya ajak mereka memikirkan bagaimana mendapat informasi atau data. Dari diskusi, mereka mengerti bahwa mencari data tidak asal mencari di internet, bertanya ke orang, atau mengamati lokasi pembuangan sampah. Tetapi juga perlu menentukan informasi apa yang sebenarnya murid inginkan agar dapat menjawab permasalahan. Dari situ, mereka menyusun daftar pertanyaan, mencari tips dalam mewawancarai orang, mengobservasi lingkungan desa, perumahan, atau kampung tentang pengolahan sampah, dsb. Akhir dari tahapan ini yaitu murid mendapat banyak sekali data tentang masalah sampah: jenis sampah terbanyak, keterbasan pengelolaan sampah, volume sampah yang overload, kesulitan dalam pemilahan sampah sejak level desa, dll.
Nah, data yang didapat dari tahapan sebelumnya, lalu dianalisa agar lebih tertata. Pada tahapan inilah murid berdiskusi hebat. Saya perlu mendatangi setiap kelompok untuk melayani mereka. Rata-rata saya memerlukan waktu 30 menit untuk melayani mereka berdiskusi. Hasilnya, mereka menulis deskripsi dan latar belakang permasalahan sampah yang faktual. Dan dari situlah saya ajak mereka memikirkan solusi yang mungkin dilakukan mereka, bahkan bila solusinya itu remeh sekalipun.
Tahapan terakhir adalah mengajukan solusi terhadap permasalahan sampah. Saya sangat senang ketika ada variasi solusi di beberapa kelompok. Tentu saja beserta keterbatasan-keterbatasan yang menyertai solusi tersebut. Sayang sekali dalam kegiatan pembelajaran projek ini tidak sampai presentasi hasil dan tanggapan, bahkan sampai aksi nyata. Saya memutuskan untuk mengakhiri projek ini karena dalam waktu dekat akan ada P5 di sekolah.
Dari pembelajaran projek itu saya menangkap beberapa perubahan pada diri murid, antara lain mereka menyadari banyak hal, mulai dari kesulitan petugas pengelola TPA, kesadaran warga yang kurang, sikap konsumtif kita yang menghasilkan banyak sampah, sulitnya melakukan gerakan pemisahan jenis sampah, dsb.
Murid belajar melakukan riset sederhana di mapel Projek IPAS. Langkah yang ditempuh antara lain mengidentifikasi masalah, mendalami masalah, mencari data, menganalisis dan menyimpulkan
Di kurikulum merdeka ada sebuah pelajaran yang nomenklaturnya cukup unik, yaitu Projek IPAS. Keunikannya terletak pada kata “Projek” yang menunjukkan bagaimana metode belajar yang digunakan selama pembelajaran. Bagi saya, metode projek tidak mudah dipraktikkan. Apalagi jika gurunya terbiasa menggunakan teknik ceramah dan membuat muridnya duduk lama mendengarkan. Saya termasuk dalam kategori ini.
Setelah membaca rasional, karakteristik, tujuan mata pelajaran, dan capaian pembelajaran Projek IPAS, saya mulai mengerti alasan mapel ini diadakan. IPAS, atau sains alam atau sosial, tidak cuma mendorong murid menghafal dan mengerti IPAS sebagai produk, tetapi juga (dan ini yang mungkin tak kalah penting) memperkenalkan serta membiasakan murid melakukan saing (doing science). Melakukan sains berarti bekerja layaknya ilmuwan, tentu dalam level murid sekolah. Dengan kata lain murid melakukan riset. Melalui kebiasaan meriset ini murid dapat lebih kritis dan peka terhadap permasalahan lingkungan sekitar.
Saya tidak tahu betul bagaimana agar siswa bisa meriset. Awalnya saya pikir riset adalah kegiatan penelitian yang serius, ketat, dan perlu menaati teknik-teknik statistik yang rumit. Namun setelah membaca tentang metode projek bagi anak sekolah, saya cukup mendapat gambaran. Murid tidak perlu melakukan sama persis seperti laiknya ilmuwan, tapi cukup hanya menempuh tahapan-tahapan tertentu. Tahapan ini semacam syarat dasar bagi tindakan meriset, antara lain mengidentifikasi masalah, mendalami masalah, mencari data, menganalisis, dan menyimpulkan.
Pertanyaan yang kemudian timbul di benak saya adalah apakah murid-murid saya bisa melakukan itu semua, apakah mereka bisa merumuskan masalah yang relevan untuk diteliti, apakah mereka nantinya harus dituntun secara runtut dan detail. Pertanyaan itu tiba-tiba memunculkan rasa tidak percaya di diri saya. Tetapi ini harus dicoba agar saya tahu bagaimana sebenarnya.
Dalam seminggu ada enam jam pelajaran di mapel Projek IPAS. Panjangnya rentang waktu ini sebetulnya merupakan keuntungan bagi berlangsungnya projek. Berangkat dari situ saya susun rencana kegiatan belajar untuk 1 tema projek yang lamanya satu bulan atau 24 JP agar semua tahapan di atas dapat terlaksana.
Kelas dibagi menjadi enam kelompok, dimana masing-masing kelompok terdiri dari enam murid. Sambil duduk berkelompok saya ajak mereka ngobrol soal permasalahan lingkungan yang jamak terjadi di lingkungan sekitar. Rata-rata mereka menjawab: sampah. Kemudian saya gali lebih jauh dengan melontarkan beberapa pertanyaan berikut: “mengapa sampah menjadi masalah buat kita?”, “kenapa sih lingkungan sekitar kita tidak bisa seperti di negara Singapura, misalnya?”, “apakah ada yang bisa kita lakukan?”, “apakah ada hal-hal yang betul-betul dapat kita lakukan sekarang, besok, atau lusa?”.
Umumnya, jawaban murid masih normatif dan hampir semua berasal dari opini mereka. Jarang sekali yang menyertakan informasi aktual atau yang faktual sebagai penguat. Jadi, selama mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, saya kemudian bertanya lagi, “bagaimana kalian tahu itu?”, “apakah berdasarkan angan-angan di pikiran, opini, ataukah mengarang saja?”, “darimana kalian tahu bahwa masyarakat itu malas membuang sampah ke tempat sampah?”, “bagaimana kalian tahu jika masyarakat tidak berusaha apa-apa untuk mengatasi masalah sampah?”. Pertanyaan ini menggiring murid untuk mencari data. Salah satu tujuan langkah ini adalah mengurangi kelatahan murid dalam menjawab permasalahan hanya dengan opini.
Pada tahap pencarian data, saya ajak mereka memikirkan bagaimana mendapat informasi atau data. Dari diskusi, mereka mengerti bahwa mencari data tidak asal mencari di internet, bertanya ke orang, atau mengamati lokasi pembuangan sampah. Tetapi juga perlu menentukan informasi apa yang sebenarnya murid inginkan agar dapat menjawab permasalahan. Dari situ, mereka menyusun daftar pertanyaan, mencari tips dalam mewawancarai orang, mengobservasi lingkungan desa, perumahan, atau kampung tentang pengolahan sampah, dsb. Akhir dari tahapan ini yaitu murid mendapat banyak sekali data tentang masalah sampah: jenis sampah terbanyak, keterbasan pengelolaan sampah, volume sampah yang overload, kesulitan dalam pemilahan sampah sejak level desa, dll.
Nah, data yang didapat dari tahapan sebelumnya, lalu dianalisa agar lebih tertata. Pada tahapan inilah murid berdiskusi hebat. Saya perlu mendatangi setiap kelompok untuk melayani mereka. Rata-rata saya memerlukan waktu 30 menit untuk melayani mereka berdiskusi. Hasilnya, mereka menulis deskripsi dan latar belakang permasalahan sampah yang faktual. Dan dari situlah saya ajak mereka memikirkan solusi yang mungkin dilakukan mereka, bahkan bila solusinya itu remeh sekalipun.
Tahapan terakhir adalah mengajukan solusi terhadap permasalahan sampah. Saya sangat senang ketika ada variasi solusi di beberapa kelompok. Tentu saja beserta keterbatasan-keterbatasan yang menyertai solusi tersebut. Sayang sekali dalam kegiatan pembelajaran projek ini tidak sampai presentasi hasil dan tanggapan, bahkan sampai aksi nyata. Saya memutuskan untuk mengakhiri projek ini karena dalam waktu dekat akan ada P5 di sekolah.
Dari pembelajaran projek itu saya menangkap beberapa perubahan pada diri murid, antara lain mereka menyadari banyak hal, mulai dari kesulitan petugas pengelola TPA, kesadaran warga yang kurang, sikap konsumtif kita yang menghasilkan banyak sampah, sulitnya melakukan gerakan pemisahan jenis sampah, dsb.
Praktik baik Sebelum Direvisi
Elaborasi Praktik Baik
Di kurikulum merdeka ada sebuah pelajaran yang nomenklaturnya cukup unik, yaitu Projek IPAS. Keunikannya terletak pada kata “Projek” yang menunjukkan bagaimana metode belajar yang digunakan selama pembelajaran. Bagi saya, metode projek tidak mudah dipraktikkan. Apalagi jika gurunya terbiasa menggunakan teknik ceramah dan membuat muridnya duduk lama mendengarkan. Saya termasuk dalam kategori ini.
Setelah membaca rasional, karakteristik, tujuan mata pelajaran, dan capaian pembelajaran Projek IPAS, saya mulai mengerti alasan mapel ini diadakan. IPAS, atau sains alam atau sosial, tidak cuma mendorong murid menghafal dan mengerti IPAS sebagai produk, tetapi juga (dan ini yang mungkin tak kalah penting) memperkenalkan serta membiasakan murid melakukan saing (doing science). Melakukan sains berarti bekerja layaknya ilmuwan, tentu dalam level murid sekolah. Dengan kata lain murid melakukan riset. Melalui kebiasaan meriset ini murid dapat lebih kritis dan peka terhadap permasalahan lingkungan sekitar.
Saya tidak tahu betul bagaimana agar siswa bisa meriset. Awalnya saya pikir riset adalah kegiatan penelitian yang serius, ketat, dan perlu menaati teknik-teknik statistik yang rumit. Namun setelah membaca tentang metode projek bagi anak sekolah, saya cukup mendapat gambaran. Murid tidak perlu melakukan sama persis seperti laiknya ilmuwan, tapi cukup hanya menempuh tahapan-tahapan tertentu. Tahapan ini semacam syarat dasar bagi tindakan meriset, antara lain mengidentifikasi masalah, mendalami masalah, mencari data, menganalisis, dan menyimpulkan.
Pertanyaan yang kemudian timbul di benak saya adalah apakah murid-murid saya bisa melakukan itu semua, apakah mereka bisa merumuskan masalah yang relevan untuk diteliti, apakah mereka nantinya harus dituntun secara runtut dan detail. Pertanyaan itu tiba-tiba memunculkan rasa tidak percaya di diri saya. Tetapi ini harus dicoba agar saya tahu bagaimana sebenarnya.
Dalam seminggu ada enam jam pelajaran di mapel Projek IPAS. Panjangnya rentang waktu ini sebetulnya merupakan keuntungan bagi berlangsungnya projek. Berangkat dari situ saya susun rencana kegiatan belajar untuk 1 tema projek yang lamanya satu bulan atau 24 JP agar semua tahapan di atas dapat terlaksana.
Kelas dibagi menjadi enam kelompok, dimana masing-masing kelompok terdiri dari enam murid. Sambil duduk berkelompok saya ajak mereka ngobrol soal permasalahan lingkungan yang jamak terjadi di lingkungan sekitar. Rata-rata mereka menjawab: sampah. Kemudian saya gali lebih jauh dengan melontarkan beberapa pertanyaan berikut: “mengapa sampah menjadi masalah buat kita?”, “kenapa sih lingkungan sekitar kita tidak bisa seperti di negara Singapura, misalnya?”, “apakah ada yang bisa kita lakukan?”, “apakah ada hal-hal yang betul-betul dapat kita lakukan sekarang, besok, atau lusa?”.
Umumnya, jawaban murid masih normatif dan hampir semua berasal dari opini mereka. Jarang sekali yang menyertakan informasi aktual atau yang faktual sebagai penguat. Jadi, selama mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, saya kemudian bertanya lagi, “bagaimana kalian tahu itu?”, “apakah berdasarkan angan-angan di pikiran, opini, ataukah mengarang saja?”, “darimana kalian tahu bahwa masyarakat itu malas membuang sampah ke tempat sampah?”, “bagaimana kalian tahu jika masyarakat tidak berusaha apa-apa untuk mengatasi masalah sampah?”. Pertanyaan ini menggiring murid untuk mencari data. Salah satu tujuan langkah ini adalah mengurangi kelatahan murid dalam menjawab permasalahan hanya dengan opini.
Pada tahap pencarian data, saya ajak mereka memikirkan bagaimana mendapat informasi atau data. Dari diskusi, mereka mengerti bahwa mencari data tidak asal mencari di internet, bertanya ke orang, atau mengamati lokasi pembuangan sampah. Tetapi juga perlu menentukan informasi apa yang sebenarnya murid inginkan agar dapat menjawab permasalahan. Dari situ, mereka menyusun daftar pertanyaan, mencari tips dalam mewawancarai orang, mengobservasi lingkungan desa, perumahan, atau kampung tentang pengolahan sampah, dsb. Akhir dari tahapan ini yaitu murid mendapat banyak sekali data tentang masalah sampah: jenis sampah terbanyak, keterbasan pengelolaan sampah, volume sampah yang overload, kesulitan dalam pemilahan sampah sejak level desa, dll.
Nah, data yang didapat dari tahapan sebelumnya, lalu dianalisa agar lebih tertata. Pada tahapan inilah murid berdiskusi hebat. Saya perlu mendatangi setiap kelompok untuk melayani mereka. Rata-rata saya memerlukan waktu 30 menit untuk melayani mereka berdiskusi. Hasilnya, mereka menulis deskripsi dan latar belakang permasalahan sampah yang faktual. Dan dari situlah saya ajak mereka memikirkan solusi yang mungkin dilakukan mereka, bahkan bila solusinya itu remeh sekalipun.
Tahapan terakhir adalah mengajukan solusi terhadap permasalahan sampah. Saya sangat senang ketika ada variasi solusi di beberapa kelompok. Tentu saja beserta keterbatasan-keterbatasan yang menyertai solusi tersebut. Sayang sekali dalam kegiatan pembelajaran projek ini tidak sampai presentasi hasil dan tanggapan, bahkan sampai aksi nyata. Saya memutuskan untuk mengakhiri projek ini karena dalam waktu dekat akan ada P5 di sekolah.
Dari pembelajaran projek itu saya menangkap beberapa perubahan pada diri murid, antara lain mereka menyadari banyak hal, mulai dari kesulitan petugas pengelola TPA, kesadaran warga yang kurang, sikap konsumtif kita yang menghasilkan banyak sampah, sulitnya melakukan gerakan pemisahan jenis sampah, dsb.
Jika Anda mengalami kendala dalam scrolling, scroll di luar dari area Live Chat yang berwarna hitam.