Temu Pendidik Nusantara XII

Select Language

Peran Si Penyambung Lidah Guru dalam Pembelajaran Terdiferensiasi

Praktik baik Sebelum Direvisi

[revisi_terbaru]

Elaborasi Praktik Baik

Peran Si Penyambung Lidah Guru dalam Pembelajaran Terdiferensiasi

Oleh : T. Fadilla Aini Ankhairi, S.Pd – SMP IT Al Jawahir

 

Informatika adalah mata pelajaran yang baru dikenalkan di jenjang SMP. Murid mulai dikenalkan dengan aplikasi perkantoran seperti Word dan Excel, menulis e-mail, melakukan pencarian dengan search engine dan menyusun balok-balok perintah untuk membuat program sederhana.

Salah satu strategi pemantik yang saya lakukan adalah mengenalkan murid secara langsung pada komputer (laptop dan chromebook). Setiap kali pembelajaran menggunakan media komputer, saya meyakini bahwa metode yang paling sesuai untuk mengajar adalah dengan demonstrasi. Melalui metode demonstrasi, harapan saya murid akan antusias karena dapat mempraktikan langsung dan akan makin terampil menggunakan komputer, sehingga pembelajaran juga jadi lebih bermakna.

Namun berdasarkan pengalaman pribadi, metode demonstrasi sering kali terasa kurang ampuh. Metode ini mengharuskan murid untuk fokus mengikuti instruksi yang diberikan. Sehingga yang sering kali terjadi adalah murid yang tertinggal 1 langkah (step) demonstrasi akhirnya kesulitan untuk mengimbangi. Untuk mengantisipasi hal tersebut, saya mengulang kembali penjelasan tentang langkah yang dilewatkan murid. Namun, hal tersebut tidak dapat saya lakukan terus-menerus, karena akan menghabiskan banyak waktu. Akibatnya hasil pembelajaran pun tidak maksimal dan tujuan pembelajaran di hari tersebut jarang  dapat tercapai.

Berkaca dari pengalaman tersebut, saya menyadari bahwa saya terlalu mendominasi pembelajaran dengan menjadi sumber informasi tanpa melibatkan murid. Padahal berdasarkan observasi di dalam kelas, murid yang tertinggal pembelajaran merasa lebih nyaman bertanya pada temannya, yang juga sukarela untuk membantunya. Saya melihat ini sebagai potensi untuk melibatkan murid dalam berbagi pengetahuannya. Saya pun melakukan perubahan, dengan mengkombinasikan metode demonstrasi dan tutor sebaya.

Saat memasuki pokok materi baru, pada pertemuan pertama saya mengadakan asesmen diagnostik dan melakukan observasi terhadap kemampuan kognitif murid di dalam kelas. Di akhir pertemuan pertama tersebut saya memetakan murid ke dalam 2 kategori kesiapan belajar, yaitu murid dengan kemampuan awal sesuai harapan dan murid dengan kemampuan awal di bawah harapan.

Murid yang memiliki kemampuan awal sesuai harapan, saya berikan kepercayaan untuk menjadi penyambung lidah guru. Saya meyakini bahwa anak-anak memiliki kemampuan yang unik untuk membahasakan sesuatu pada teman seusianya dengan cara yang lebih sederhana dan mengena.

Murid Si Penyambung Lidah Guru ini, saya sebut mereka sebagai Tutor. Setiap tutor memiliki kelompok belajar yang anggotanya 2-4 orang, dengan tutor sebagai ketua kelompok dan bertanggung jawab penuh atas kelompok belajarnya.

Awalnya murid-murid tutor menolak. Mereka mengganggap ini sebagai hal yang merepotkan. Bahkan ada murid tutor yang mengeluh, “Si A kalau diajarin sering tidak mau mendengarkan.”

Tenang saja, saya sudah menyiapkan reward istimewa untuk para tutor : Mereka tidak perlu ujian! (tidak ikut asesmen sumatif).

Lantas, apa yang saya lakukan untuk mengukur pencapain murid tutor terhadap materi tersebut? Saya memberikan penilaian berdasarkan keberhasilannya mengajarkan teman-temannya. Artinya, nilai asesemen sumatif tutor diberikan berasarkan hasil asesmen teman-teman kelompoknya.

Reward ini menaikkan antusisme para murid tutor.

Setelah memberikan pembelajaran dengan demonstrasi, pembelajaran di kelas dilanjutkan dengan diskusi kelompok. Saya memberikan soal latihan hanya kepada murid kelompok belajar. Disinilah peran tutor sebenarnya, tutor akan langsung bergerak memanggil dan mengatur posisi duduk anggota kelompoknya. Ia mendampingi, memberi arahan dan memastikan teman-teman sekelompoknya mampu menyelesaikan persoalan. Murid tutor juga berhasil memaksa temannya yang tidak tertarik belajar untuk ikut belajar dengannya.

Peran tutor nampak pada hasil asesmen sumatif mereka. Murid yang hasil asesmen di bab-bab sebelumnya jauh dari harapan, menunjukkan peningkatan. Walaupun mereka membutuhkan waktu yang lebih lama dalam menyelesaikan asesmen, namun hampir semua murid memberikan peningkatan.

“Umi.. sebutkan nilai-nilai kami, Mi!” pinta salah seorang tutor antusias setelah asesemen sumatif dilaksanakan.

Saya pun menyebutkan semua nilai murid kelompok belajar. Salah seorang tutor yang semua anggota kelompoknya mendapat nilai di atas 80 bersorak gembira.

“Nilai kelompok kita paling tinggi!” seru tutor tersebut sambil bersorak bersama teman-teman sekelompoknya.

Di akhir pembelajaran, saya meminta murid menceritakan pengalamanya. Murid tutor merasa puas dan bangga telah berhasil menjelaskan pelajaran pada teman-temannya.

Sedangkan murid kelompok belajar merasa diperhatikan dan dibimbing untuk sama-sama ‘bisa’ mengikuti pembelajaran. Bahkan ada beberapa murid kelompok belajar yang juga ingin menjadi tutor, “Untuk minggu depan saya yang jadi tutor ya, Umi!”

Saya pun meminta murid-murid kelompok belajar untuk mengucapkan terima kasih pada siapa saja yang membantu mereka belajar pada materi tersebut. Semua murid mengucapkan terima kasih pada tutor sekelompoknya. Dan ada seorang murid yang mengucapkan terima kasih pada saya. Apa yang dilakukanya membuat hati saya terenyuh. Inilah rasanya memberikan pembelajaran yang bermakna di dalam kelas.

Jika Anda mengalami kendala dalam scrolling, scroll di luar dari area Live Chat yang berwarna hitam.