Budaya sekolah yang mendorong perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan sikap untuk hidup berkelanjutan dan adil bagi semua.
Budaya sekolah yang mendorong perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan sikap untuk hidup berkelanjutan dan adil bagi semua.
Belakangan ini saya melihat banyak terjadi miskonsepsi terkait pendidikan ramah lingkungan atau dikenal dengan gaya hidup berkelanjutan di beberapa sekolah di Denpasar. Banyak dari unggahan yang dilihat di media sosial, kegiatan atau program gaya hidup berkelanjutan yang termuat dalam Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dalam kurikulum merdeka berakhir pada sebuah pameran karya pengolahan limbah sampah plastik. Banyak siswa secara kolektif diminta oleh guru untuk mendaur ulang botol plastik menjadi barang pot, plastik dan sampah kertas bekas menjadi gaun, hingga aneka kreativitas dari barang bekas lainnya. Hal ini adalah hal yang baik, namun ketika kita bicara tentang pendidikan lingkungan, kegiatan selebrasi bukanlah puncak dari sebuah gaya hidup berkelanjutan. Setelah kegiatan perayaan belajar selesai, ujung – ujungnya produk daur ulang yang murid sudah selesaikan berakhir menjadi bahan pajangan dan lambat laun menjadi sampah kembali. Miskonsepsi ini lah yang sering saya amati dalam implementasi pendidikan gaya hidup berkelanjutan.
Melihat dari miskonsepsi yang terjadi di sekolah lain, saya mencoba berdiskusi dengan murid – murid di Sekolah Satu Bumi tentang apa yang bisa dilakukan dalam mewujudkan gaya hidup berkelanjutan. Sebuah jawaban dari salah seorang murid adalah ‘‘upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mendaur ulang sampah plastik’, jawaban tersebut membuat saya berefleksi bahwa pemahaman murid – murid saya juga masih belum dalam . Dari beberapa pertanyaan yang diajukan, murid – murid masih menitik beratkan pada pengolahan (recycle) limbah sampah plastik. Diperlukan banyak pertanyaan pemantik untuk mengarahkan mereka bahwa pencegahan dan pengurangan sampah (reduce) merupakan langkah utama yang harus dilakukan terlebih dahulu.
Beranjak dari hasil asesmen awal terhadap pemahaman murid – murid terkait dengan gaya hidup berkelanjutan, kami kemudian melakukan eksplorasi melalui diskusi video tentang kondisi tempat pembuangan akhir (TPA) Suwung di Denpasar dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Dari hasil diskusi tersebut, muncul kesimpulan bahwa jika langkah pengurangan sampah dilakukan, maka tidak perlu lagi adanya penggunaan kembali (Reuse) dan daur ulang sampah. Tidak hanya itu, gaya hidup berkelanjutan tidak hanya sekedar tentang pengelolaan sampah namun tentang cara hidup yang dengan penuh kesadaran melakukan upaya – upaya jangka panjang yang berdampak baik pada lingkungan dan orang lain. Nilai – nilai inilah yang seharusnya dikedepankan ketika kita berbicara tentang gaya hidup berkelanjutan.
Kami yakin bahwa untuk memulai sebuah gaya hidup berkelanjutan, tidak bisa pula dilakukan dengan sekali event atau program yang dilakukan beberapa kali. Perlu adanya kegiatan yang berkelanjutan sehingga hal itu menjadi membudaya dan berdampak dalam jangka panjang. Sebagai bahan refleksi, Sekolah Satu Bumi sudah memulai dengan program membawa botol minum sendiri sejak sedari awal berdiri. Sekolah tidak memiliki kantin untuk membeli makan ataupun minuman sehingga anak – anak akan membawa botol minum dari rumah. Hal ini pun sudah menjadi budaya positif sekolah. Beranjak dari hal ini, para guru percaya bahwa sebuah dampak besar dimulai dari hal yang kecil dan berkelanjutan.
Untuk itu, mulailah program One Earth Sustainable Lifestyle (OESL) , dimana kita menggunakan waktu istirahat makan siang rutin setiap hari dari pukul 11.40 – 12.40 untuk membangun sebuah budaya positif gaya hidup berkelanjutan. Murid – murid di Sekolah Satu Bumi (One Earth School) yang terdiri dari jenjang SD – SMA kemudian dikelompokan lintas jenjang untuk berkolaborasi melakukan beberapa kegiatan piket secara paralel. Ada lima kelompok yang bertanggung jawab atas masing – masing kelompok kerja seperti kelompok hidroponik, kompos, eco-brick, pilah sampah dan pelayanan makan siang. Sebelum mereka mereka bertugas, kayak – kayak jenjang SMA akan bertugas sebagai pemimpin untuk memimpin adik – adik SMA dan SD mengerjakan tugas piket tersebut.
Kelompok yang bertugas melayani makan siang bertugas memastikan murid – murid mendapat porsi makan yang cukup dan belajar untuk bisa menghabiskan makanan. Hal ini juga untuk memberikan edukasi terkait ‘food waste’ atau sisa makanan yang menjadi sampah. Saat ini, ‘food waste’ merupakan masalah yang dihadapi oleh berbagai negara maju, sebaliknya krisis makanan juga sedang terjadi di negara – negara miskin dan berkembang. Dengan adanya piket makan, murid – murid akan belajar untuk menghargai makanan dan mengkonsumsinya sesuai dengan kebutuhan tanpa membuang sisa makanan sebagai sampah makanan.
Berikutnya, kelompok piket kompos akan mengelola sampah dapur yang dihasilkan dari sisa sayur dan sampah dapur organik yang akan diolah menjadi kompos yang nantinya digunakan untuk pupuk tanaman di sekolah. Kelompok pilah sampah, akan bertugas sebagai filter akhir sampah kelas yang telah dikelompokkan menjadi sampah organik, plastik , kertas, besi/kaca yang akan diberikan kepada ‘Eco Bali’ sebuah perusahan yang bergerak pada pengelolaan limbah dan lingkungan. Pembiasaan pemilahan sampah ini sudah dilakukan dari kelas, namun terkadang beberapa siswa SD masih keliru dalam menaruh sampah, sehingga perlu adanya kelompok pilah sampah untuk menjadi penyaring akhir di Bak Sampah Besar. Tidak hanya itu, petugas kelompok pilah sampah juga akan mengumpulkan sampah plastik untuk digunakan oleh kelompok Ecobrick. Ecobrick adalah botol plastik bekas yang diisi dengan sampah plastik yang didapatkan sehingga dapat berfungsi sebagai pengganti batu bata yang bisa dimanfaatkan sebagai berbagai barang seperti kursi ataupun pagar tanaman.
Sekolah juga punya kebun hidroponik yang memfasilitasi siswa untuk belajar menanam sayur sendiri sebagai bagian dari edukasi pangan mengingat untuk hidup berkelanjutan murid – murid harus bisa menanam makan sendiri secara organik dan sehat. Kebun hidroponik ini sepenuhnya dikelola oleh murid – murid dan hasil sayur akan dikonsumsi kembali oleh siswa untuk makan siang.
Rangkain kegiatan dengan konsep gaya hidup berkelanjutan ini kemudian menjadi budaya sekolah yang terus dilaksanakan hingga saat ini. Murid – murid tidak hanya paham tentang konsep gaya berkelanjutan namun juga langsung menerapkan aksi n dalam kehidupan nyata.. Budaya ini juga tidak hanya dilakukan di rumah, murid – murid juga menjadi terbiasa dengan gaya hidup berkelanjutan di rumah masing – masing. Sebagai bahan refleksi, kepemimpinan murid yang dibangun dalam program OESL ini perlu terus direfleksikan bersama, murid masih perlu diberikan arahan ketika terjadi permasalahan dalam kelompok maupun selama program berlangsung.
Budaya sekolah yang mendorong perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan sikap untuk hidup berkelanjutan dan adil bagi semua.
Belakangan ini saya melihat banyak terjadi miskonsepsi terkait pendidikan ramah lingkungan atau dikenal dengan gaya hidup berkelanjutan di beberapa sekolah di Denpasar. Banyak dari unggahan yang dilihat di media sosial, kegiatan atau program gaya hidup berkelanjutan yang termuat dalam Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dalam kurikulum merdeka berakhir pada sebuah pameran karya pengolahan limbah sampah plastik. Banyak siswa secara kolektif diminta oleh guru untuk mendaur ulang botol plastik menjadi barang pot, plastik dan sampah kertas bekas menjadi gaun, hingga aneka kreativitas dari barang bekas lainnya. Hal ini adalah hal yang baik, namun ketika kita bicara tentang pendidikan lingkungan, kegiatan selebrasi bukanlah puncak dari sebuah gaya hidup berkelanjutan. Setelah kegiatan perayaan belajar selesai, ujung – ujungnya produk daur ulang yang murid sudah selesaikan berakhir menjadi bahan pajangan dan lambat laun menjadi sampah kembali. Miskonsepsi ini lah yang sering saya amati dalam implementasi pendidikan gaya hidup berkelanjutan.
Melihat dari miskonsepsi yang terjadi di sekolah lain, saya mencoba berdiskusi dengan murid – murid di Sekolah Satu Bumi tentang apa yang bisa dilakukan dalam mewujudkan gaya hidup berkelanjutan. Sebuah jawaban dari salah seorang murid adalah ‘‘upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mendaur ulang sampah plastik’, jawaban tersebut membuat saya berefleksi bahwa pemahaman murid – murid saya juga masih belum dalam . Dari beberapa pertanyaan yang diajukan, murid – murid masih menitik beratkan pada pengolahan (recycle) limbah sampah plastik. Diperlukan banyak pertanyaan pemantik untuk mengarahkan mereka bahwa pencegahan dan pengurangan sampah (reduce) merupakan langkah utama yang harus dilakukan terlebih dahulu.
Beranjak dari hasil asesmen awal terhadap pemahaman murid – murid terkait dengan gaya hidup berkelanjutan, kami kemudian melakukan eksplorasi melalui diskusi video tentang kondisi tempat pembuangan akhir (TPA) Suwung di Denpasar dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Dari hasil diskusi tersebut, muncul kesimpulan bahwa jika langkah pengurangan sampah dilakukan, maka tidak perlu lagi adanya penggunaan kembali (Reuse) dan daur ulang sampah. Tidak hanya itu, gaya hidup berkelanjutan tidak hanya sekedar tentang pengelolaan sampah namun tentang cara hidup yang dengan penuh kesadaran melakukan upaya – upaya jangka panjang yang berdampak baik pada lingkungan dan orang lain. Nilai – nilai inilah yang seharusnya dikedepankan ketika kita berbicara tentang gaya hidup berkelanjutan.
Kami yakin bahwa untuk memulai sebuah gaya hidup berkelanjutan, tidak bisa pula dilakukan dengan sekali event atau program yang dilakukan beberapa kali. Perlu adanya kegiatan yang berkelanjutan sehingga hal itu menjadi membudaya dan berdampak dalam jangka panjang. Sebagai bahan refleksi, Sekolah Satu Bumi sudah memulai dengan program membawa botol minum sendiri sejak sedari awal berdiri. Sekolah tidak memiliki kantin untuk membeli makan ataupun minuman sehingga anak – anak akan membawa botol minum dari rumah. Hal ini pun sudah menjadi budaya positif sekolah. Beranjak dari hal ini, para guru percaya bahwa sebuah dampak besar dimulai dari hal yang kecil dan berkelanjutan.
Untuk itu, mulailah program One Earth Sustainable Lifestyle (OESL) , dimana kita menggunakan waktu istirahat makan siang rutin setiap hari dari pukul 11.40 – 12.40 untuk membangun sebuah budaya positif gaya hidup berkelanjutan. Murid – murid di Sekolah Satu Bumi (One Earth School) yang terdiri dari jenjang SD – SMA kemudian dikelompokan lintas jenjang untuk berkolaborasi melakukan beberapa kegiatan piket secara paralel. Ada lima kelompok yang bertanggung jawab atas masing – masing kelompok kerja seperti kelompok hidroponik, kompos, eco-brick, pilah sampah dan pelayanan makan siang. Sebelum mereka mereka bertugas, kayak – kayak jenjang SMA akan bertugas sebagai pemimpin untuk memimpin adik – adik SMA dan SD mengerjakan tugas piket tersebut.
Kelompok yang bertugas melayani makan siang bertugas memastikan murid – murid mendapat porsi makan yang cukup dan belajar untuk bisa menghabiskan makanan. Hal ini juga untuk memberikan edukasi terkait ‘food waste’ atau sisa makanan yang menjadi sampah. Saat ini, ‘food waste’ merupakan masalah yang dihadapi oleh berbagai negara maju, sebaliknya krisis makanan juga sedang terjadi di negara – negara miskin dan berkembang. Dengan adanya piket makan, murid – murid akan belajar untuk menghargai makanan dan mengkonsumsinya sesuai dengan kebutuhan tanpa membuang sisa makanan sebagai sampah makanan.
Berikutnya, kelompok piket kompos akan mengelola sampah dapur yang dihasilkan dari sisa sayur dan sampah dapur organik yang akan diolah menjadi kompos yang nantinya digunakan untuk pupuk tanaman di sekolah. Kelompok pilah sampah, akan bertugas sebagai filter akhir sampah kelas yang telah dikelompokkan menjadi sampah organik, plastik , kertas, besi/kaca yang akan diberikan kepada ‘Eco Bali’ sebuah perusahan yang bergerak pada pengelolaan limbah dan lingkungan. Pembiasaan pemilahan sampah ini sudah dilakukan dari kelas, namun terkadang beberapa siswa SD masih keliru dalam menaruh sampah, sehingga perlu adanya kelompok pilah sampah untuk menjadi penyaring akhir di Bak Sampah Besar. Tidak hanya itu, petugas kelompok pilah sampah juga akan mengumpulkan sampah plastik untuk digunakan oleh kelompok Ecobrick. Ecobrick adalah botol plastik bekas yang diisi dengan sampah plastik yang didapatkan sehingga dapat berfungsi sebagai pengganti batu bata yang bisa dimanfaatkan sebagai berbagai barang seperti kursi ataupun pagar tanaman.
Sekolah juga punya kebun hidroponik yang memfasilitasi siswa untuk belajar menanam sayur sendiri sebagai bagian dari edukasi pangan mengingat untuk hidup berkelanjutan murid – murid harus bisa menanam makan sendiri secara organik dan sehat. Kebun hidroponik ini sepenuhnya dikelola oleh murid – murid dan hasil sayur akan dikonsumsi kembali oleh siswa untuk makan siang.
Rangkain kegiatan dengan konsep gaya hidup berkelanjutan ini kemudian menjadi budaya sekolah yang terus dilaksanakan hingga saat ini. Murid – murid tidak hanya paham tentang konsep gaya berkelanjutan namun juga langsung menerapkan aksi n dalam kehidupan nyata.. Budaya ini juga tidak hanya dilakukan di rumah, murid – murid juga menjadi terbiasa dengan gaya hidup berkelanjutan di rumah masing – masing. Sebagai bahan refleksi, kepemimpinan murid yang dibangun dalam program OESL ini perlu terus direfleksikan bersama, murid masih perlu diberikan arahan ketika terjadi permasalahan dalam kelompok maupun selama program berlangsung.
Praktik baik Sebelum Direvisi
Elaborasi Praktik Baik
Belakangan ini saya melihat banyak terjadi miskonsepsi terkait pendidikan ramah lingkungan atau dikenal dengan gaya hidup berkelanjutan di beberapa sekolah di Denpasar. Banyak dari unggahan yang dilihat di media sosial, kegiatan atau program gaya hidup berkelanjutan yang termuat dalam Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dalam kurikulum merdeka berakhir pada sebuah pameran karya pengolahan limbah sampah plastik. Banyak siswa secara kolektif diminta oleh guru untuk mendaur ulang botol plastik menjadi barang pot, plastik dan sampah kertas bekas menjadi gaun, hingga aneka kreativitas dari barang bekas lainnya. Hal ini adalah hal yang baik, namun ketika kita bicara tentang pendidikan lingkungan, kegiatan selebrasi bukanlah puncak dari sebuah gaya hidup berkelanjutan. Setelah kegiatan perayaan belajar selesai, ujung – ujungnya produk daur ulang yang murid sudah selesaikan berakhir menjadi bahan pajangan dan lambat laun menjadi sampah kembali. Miskonsepsi ini lah yang sering saya amati dalam implementasi pendidikan gaya hidup berkelanjutan.
Melihat dari miskonsepsi yang terjadi di sekolah lain, saya mencoba berdiskusi dengan murid – murid di Sekolah Satu Bumi tentang apa yang bisa dilakukan dalam mewujudkan gaya hidup berkelanjutan. Sebuah jawaban dari salah seorang murid adalah ‘‘upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mendaur ulang sampah plastik’, jawaban tersebut membuat saya berefleksi bahwa pemahaman murid – murid saya juga masih belum dalam . Dari beberapa pertanyaan yang diajukan, murid – murid masih menitik beratkan pada pengolahan (recycle) limbah sampah plastik. Diperlukan banyak pertanyaan pemantik untuk mengarahkan mereka bahwa pencegahan dan pengurangan sampah (reduce) merupakan langkah utama yang harus dilakukan terlebih dahulu.
Beranjak dari hasil asesmen awal terhadap pemahaman murid – murid terkait dengan gaya hidup berkelanjutan, kami kemudian melakukan eksplorasi melalui diskusi video tentang kondisi tempat pembuangan akhir (TPA) Suwung di Denpasar dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Dari hasil diskusi tersebut, muncul kesimpulan bahwa jika langkah pengurangan sampah dilakukan, maka tidak perlu lagi adanya penggunaan kembali (Reuse) dan daur ulang sampah. Tidak hanya itu, gaya hidup berkelanjutan tidak hanya sekedar tentang pengelolaan sampah namun tentang cara hidup yang dengan penuh kesadaran melakukan upaya – upaya jangka panjang yang berdampak baik pada lingkungan dan orang lain. Nilai – nilai inilah yang seharusnya dikedepankan ketika kita berbicara tentang gaya hidup berkelanjutan.
Kami yakin bahwa untuk memulai sebuah gaya hidup berkelanjutan, tidak bisa pula dilakukan dengan sekali event atau program yang dilakukan beberapa kali. Perlu adanya kegiatan yang berkelanjutan sehingga hal itu menjadi membudaya dan berdampak dalam jangka panjang. Sebagai bahan refleksi, Sekolah Satu Bumi sudah memulai dengan program membawa botol minum sendiri sejak sedari awal berdiri. Sekolah tidak memiliki kantin untuk membeli makan ataupun minuman sehingga anak – anak akan membawa botol minum dari rumah. Hal ini pun sudah menjadi budaya positif sekolah. Beranjak dari hal ini, para guru percaya bahwa sebuah dampak besar dimulai dari hal yang kecil dan berkelanjutan.
Untuk itu, mulailah program One Earth Sustainable Lifestyle (OESL) , dimana kita menggunakan waktu istirahat makan siang rutin setiap hari dari pukul 11.40 – 12.40 untuk membangun sebuah budaya positif gaya hidup berkelanjutan. Murid – murid di Sekolah Satu Bumi (One Earth School) yang terdiri dari jenjang SD – SMA kemudian dikelompokan lintas jenjang untuk berkolaborasi melakukan beberapa kegiatan piket secara paralel. Ada lima kelompok yang bertanggung jawab atas masing – masing kelompok kerja seperti kelompok hidroponik, kompos, eco-brick, pilah sampah dan pelayanan makan siang. Sebelum mereka mereka bertugas, kayak – kayak jenjang SMA akan bertugas sebagai pemimpin untuk memimpin adik – adik SMA dan SD mengerjakan tugas piket tersebut.
Kelompok yang bertugas melayani makan siang bertugas memastikan murid – murid mendapat porsi makan yang cukup dan belajar untuk bisa menghabiskan makanan. Hal ini juga untuk memberikan edukasi terkait ‘food waste’ atau sisa makanan yang menjadi sampah. Saat ini, ‘food waste’ merupakan masalah yang dihadapi oleh berbagai negara maju, sebaliknya krisis makanan juga sedang terjadi di negara – negara miskin dan berkembang. Dengan adanya piket makan, murid – murid akan belajar untuk menghargai makanan dan mengkonsumsinya sesuai dengan kebutuhan tanpa membuang sisa makanan sebagai sampah makanan.
Berikutnya, kelompok piket kompos akan mengelola sampah dapur yang dihasilkan dari sisa sayur dan sampah dapur organik yang akan diolah menjadi kompos yang nantinya digunakan untuk pupuk tanaman di sekolah. Kelompok pilah sampah, akan bertugas sebagai filter akhir sampah kelas yang telah dikelompokkan menjadi sampah organik, plastik , kertas, besi/kaca yang akan diberikan kepada ‘Eco Bali’ sebuah perusahan yang bergerak pada pengelolaan limbah dan lingkungan. Pembiasaan pemilahan sampah ini sudah dilakukan dari kelas, namun terkadang beberapa siswa SD masih keliru dalam menaruh sampah, sehingga perlu adanya kelompok pilah sampah untuk menjadi penyaring akhir di Bak Sampah Besar. Tidak hanya itu, petugas kelompok pilah sampah juga akan mengumpulkan sampah plastik untuk digunakan oleh kelompok Ecobrick. Ecobrick adalah botol plastik bekas yang diisi dengan sampah plastik yang didapatkan sehingga dapat berfungsi sebagai pengganti batu bata yang bisa dimanfaatkan sebagai berbagai barang seperti kursi ataupun pagar tanaman.
Sekolah juga punya kebun hidroponik yang memfasilitasi siswa untuk belajar menanam sayur sendiri sebagai bagian dari edukasi pangan mengingat untuk hidup berkelanjutan murid – murid harus bisa menanam makan sendiri secara organik dan sehat. Kebun hidroponik ini sepenuhnya dikelola oleh murid – murid dan hasil sayur akan dikonsumsi kembali oleh siswa untuk makan siang.
Rangkain kegiatan dengan konsep gaya hidup berkelanjutan ini kemudian menjadi budaya sekolah yang terus dilaksanakan hingga saat ini. Murid – murid tidak hanya paham tentang konsep gaya berkelanjutan namun juga langsung menerapkan aksi n dalam kehidupan nyata.. Budaya ini juga tidak hanya dilakukan di rumah, murid – murid juga menjadi terbiasa dengan gaya hidup berkelanjutan di rumah masing – masing. Sebagai bahan refleksi, kepemimpinan murid yang dibangun dalam program OESL ini perlu terus direfleksikan bersama, murid masih perlu diberikan arahan ketika terjadi permasalahan dalam kelompok maupun selama program berlangsung.
Jika Anda mengalami kendala dalam scrolling, scroll di luar dari area Live Chat yang berwarna hitam.