MASYARAKAT BERDAYA LEWAT KARYA
Rizky Setyaningrum
(SMP Negeri 26 Surakarta)
Pada tahun 2010, awal saya mengajar di sekolah plus atau sekolah khusus yang sekitar 80% murid-murid berasal dari keluarga miskin. Murid-murid di sekolah saya jarang mengenal buku apalagi membaca. Buku tulis yang mereka gunakan pun, lebih sering merupakan buku yang dipungut dari tempat pembuangan sampah. Banyak murid yang bekerja sambil bersekolah. Murid-murid tersebut kadangkala bekerja di sore hari, kadangkala mesti membolos sekolah karena harus bekerja di pagi hari, serta ada juga yang putus sekolah karena merasa tidak lagi mungkin meninggalkan pekerjaan. Banyak juga murid-murid yang berhasil lulus SMP, namun tidak lagi melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Bukan karena biaya, karena sekolah gratis. Mereka putus sekolah karena tuntutan biaya hdup bagi keluarga mereka. Mereka harus bekerja. Mereka harus menghasilkan uang untuk keluarga, entah itu dengan pekerjaan legal atau melalui jalan pintas.
Rendahnya pengalaman, wawasan, serta pendidikan dan tingginya tuntutan hidup untuk menyokong keluarga, tidak sedikit membuat murid-murid saya jatuh dalam lingkungan buruk yang memberi mereka iming-iming penghasilan besar dengan jalan pintas seperti menjadi begal atau pengemis yang berlaku seperti perampok jalanan. Pada Akhirnya, hal ini membawa mereka pada kriminalitas dan penjara. Nama almamater sekolah tercoreng, nama para guru dan kawan-kawan murid lain pun terseret. Para guru merasa prihatin, hingga guru melakukan pelatihan kecil-kecilan untuk para murid seperti keterampilan membuat pola atau desain baju, membuat aneka baju bayi, membuat rajutan, hingga mengolah aneka limbah dapur. Para guru merasa bahagia ketika mendapat cerita dari para murid yang telah berhasil berdaya melalui karya dari tangan mereka.
Perasaan bahagia ini ternyata tidak berlangsung lama. Pada tahun 2015, saya mutasi ke sekolah plus yang lain. Di sekolah baru, tantangan-tantangan baru pun bermunculan. Permasalahan yang dihadapi murid-murid sangat beragam, tidak sekedar bekerja sambilan dan putus sekolah.
Sebagai guru, saya menyaksikan berbagai penolakan dalam kehidupan murid-murid saya beserta keluarga mereka. Murid-murid yang orangtuanya adalah penyandang disabilitas sehingga sulit untuk mereka bekerja. Murid-murid yang yang orangtuanya adalah mantan narapidana dan berakhir dirumahkan serta sulit untuk kembali bekerja. Murid-murid yang ditolak kemabli bersekolah karena dianggap tidak memenuhi standar atau kebijakan sekolah. Penolakan-penolakan ini membuat saya bertanya: pernahkah kita membayangkan bagaimana bila kita adalah orang-orang yang mendapat penolakan tersebut? Pernahkah kita bertanya apa yang mereka rasakan dan apa yang mereka inginkan untuk menjadi manusia dan masyarakat?
Kehidupan murid-murid dan keluarganya sangat kompleks dimana kondisi keluarga begitu berpengaruh terhadap perilaku dan kemampuan akademis mereka. Namun demikian, sebagai guru maupun pihak sekolah, tidak banyak hal yang bisa dilakukan untuk menolong mereka karena berbagai keterbatasan peran sebagai guru maupun pihak sekolah.
Sekolah tidak mampu menolong murid-murid yang orangtuanya memiliki disabilitas atau kondisi yang membuat mereka tidak mampu bekerja. Sekolah tidak mampu menawarkan pelatihan keterampilan atau hal-hal lain untuk mendukung murid-murid tersebut supaya memiliki kehidupan yang lebih layak. Hal inilah yang kemudian mendorong saya untuk mencari cara menolong mereka, orang-orang yang dianggap tidak layak bekerja atau tidak layak berkontribusi pada masyarakat.
Beruntung sekali, pada 10 Oktober 2015, kawan-kawan pecinta kuliner membentuk komunitas Rumah Berbagi. Visi Rumah Berbagi adalah meningkatkan kemandirian dan menyejahterakan keluarga Indonesia. Rumah Berbagi adalah komunitas dengan kegiatan berbagi ilmu memasak dan craft. Ilmu memasak dan craft disini tidak hanya diajarkan bahan-bahan dan cara membuatnya. Pada kelas yang dikelola Rumah Berbagi, para pengajar juga berbagi cara pengemasan dan berbagi cara menghitung harga jual. Pelatihan yang ditawarkan oleh Rumah Berbagi seputar baking, cooking, dan craft (seperti monoprint, shibori, melukis kain). Ada beberapa kelas yang diadakan oleh Rumah Berbagi, seperti: Pelatihan untuk Persiapan Pensiun, Pelatihan untuk Single Parent, Pelatihan untuk Difable, Pelatihan untuk Lapas Wanita, Pelatihan untuk Lembaga Pembinaan Khusus Anak atau LPKA, serta pelatihan untuk murid-murid sekolah. Beberapa yang pernah mendapatkan kelas dari Rumah Berbagi diantaranya: Lapas Kelas IIA Wanita Bulu – Semarang, LPKA Kutoarjo, LPP kelas II B Yogyakarta, Lapas kelas IIA Bogor, Rutan Pondok Bambu, LPKA Tangerang, LPP II A Tangerang, LPKA Jakarta, Rutan Depok, LPP Kelas II A Malang, Lapas Wanita Bengkulu, Rusunawa Kampung Melayu, Rusunawa Pulogebang, Perkampungan Nelayan Cilincing, Komunitas Difable Bogor, masyarakat desa Ngampin – Ambarawa, SMKN 3 Bandung, serta SMKK Pius Magelang.
Di Rumah Berbagi, saya lebih banyak mengajar kewirausahaan kuliner daripada keterampilan yang lain. Ada banyak cerita seru selama menjadi pengajar sukarelawan bidang kewirausahaan kuliner ini: anak-anak didik di lapas yang selalu berkerumun menunggu guru mereka datang atau bercerita tentang betapa mereka sangat merindukan rumah dan keluarga mereka atau bercerita tentang kegiatan sehari-hari mereka, ada juga para warga binaan lapas perempuan yang bercerita cita-cita masa depan mereka atau kerinduan mereka terhadap rumah dan keluarga atau bahkan ada yang mengungkapkan bahwa sebenarnya mereka tidak peduli dengan pelatihan dan ingin melanjutkan kriminalitas bersama teman-temannya yang di luar penjara.
Namun demikian, ada satu suasana lapas yang membuat saya tersadar bahwa sebenarnya kurikulum yang memberdayakan konteks merupakan kurikulum yang telah lama diterapkan di lapas. Waktu itu sekitar akhir tahun 2018, saya mengajar di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) Kutoarjo. Saya dan beberapa pengajar lain hendak mengajar kewirausahaan kuliner untuk sekitar 20 anak didik. Lalu saya pikir: loh, jumlah anak lapas sekitar 20 an ya? Saya pun bertanya pada pembina lapas yang waktu itu membersamai kami, para pengajar kewirausahaan kuliner. Saya tanya, “Bu, apakah jumlah anak didik di lapas sekitar 20 saja? Apakah ada yang terlewat dan masih di luar kelas?” Lalu Ibu Pembina Lapas itu bilang, “Oh, tidak terlewat, Bu. Anak didik yang hadir ini adalah yang memiliki ketertarikan di bidang kewirausahaan kuliner. Di sisi bangunan yang sebelah sana, ada kebun, Bu. Di kebun tersebut, ada beberapa anak didik yang sedang belajar tentang tanaman perkebunan. Nah, yang di bangunan sebelah sana lagi, ada ruang keterampilan. Di situ, anak didik yang tertarik dengan pembuatan tas, kotak pensil, dan lain-lain juga sedang belajar. Kita bagi pembelajaran anak didik sesuai minat mereka, Bu”. Saya waktu itu berpikir, “Wah, keren banget ini sistem pengajaran di lapas. Kalau di sekolah formal, semua mesti sama kan ya”. Lalu saya pun membayangkan, kayanya asyik nih ya, kalau di sekolah formal, anak-anak juga diperkenankan memperoleh pengalaman yang dekat dengan kehidupan mereka.
Jadi tujuan pembelajaran yang ada di lapas adalah untuk memberikan pilihan keterampilan hidup, supaya ada gambaran untuk bagaimana berkarya di masyarakat, bekerja tanpa harus terjun kembali ke dunia kriminal. Oleh karena itu saya dan tim pengajar lain tidak hanya sekedar mengajarkan bagaimana membuat produk, tapi juga mengajarkan bagaimana cara mengemas, cara mencari bahan baku, cara menghitung laba, cara menghitung harga jual, dan sebagainya. Pernah suatu hari teman, sesama pengajar di lapas cerita, dia sedang jalan-jalan dengan suaminya. Mereka membeli nasi goreng. Saat menunggu nasi goreng matang, penjual nasi goreng yang waktu itu sedang membuatkan pesanan, melihat teman saya dan bertanya: Ibu, masih ingat saya? Teman saya bingung: eh, siapa ya? Penjual nasi goreng tersebut bilang: saya salah satu Andik, Ibu. Andik itu istilah disana untuk anak didik. Lalu teman saya bilang: Eh, ssssstttt. Jangan keras-keras. Jangan bilang-bilang juga kalau kamu Andik. Itu masa lalu. Sekarang sudah sukses, Mas? Penjual nasi goreng tersebut bilang: terima kasih, Ibu. Ini juga dulu dari ilmu yang Ibu ajarkan. Sekarang saya sudah mahir bikin nasi goreng dan tidak salah menentukan harga jual, jadi laba tetap terhitung dengan baik, Ibu. Saya sudah tobat, Ibu. Sekarang saya jadi penjual nasi goreng saja. Lebih aman dan bahagia.
Nah, ini salah satu contoh mengatasi permasalahan sesuai konteks. Anak didik yang ikut kelas kewirausahaan kuliner bisa mengaplikasikan keterampilan yang mereka pelajari dengan baik. Bisa dibayangkan anak yang tertarik atau akrab dengan jahit-menjahit atau berkebun, dipaksa ikut kelas kewirausahaan kuliner. Mereka mungkin akan bosan karena menganggap materi kelas terlalu mudah atau terlalu sulit atau sebagai sesuatu yang asing dari diri mereka.
Banyak lika-liku selama menjadi anggota dan pengajar Rumah Berbagi, terutama persiapan sebelum mengajar. Persiapan ini sangat jauh-jauh hari harus dilakukan, mulai dari menabung untuk transportasi dan penginapan (terutama bila tempat pelatihan jauh dari tempat tinggal pengajar), mengikuti workshop materi yang akan diajarkan, koordinasi kelompok pengajar untuk alat yang harus dibawa apa saja, nantinya ketika di tempat harus berada di titik mana saja dalam ruang pelatihan, harus selesai dalam berapa menit, siapa yang akan membuka dan menutup acara, berkumpul jam berapa, harus selesai semua acara jam berapa, dan sebagainya. Hal lain yang saya temui selama menjadi anggota Rumah Berbagi adalah beragamnya profesi, beragam budaya, beragam karakter, semua berkumpul jadi satu untuk tujuan yang sama: meningkatkan kemandirian, menyejahterakan keluarga Indonesia, Berbagi dengan hati.
Hal yang saya pelajari dengan Rumah Berbagi bahwa berbagi tidak harus kaya: kita bisa berbagi ilmu dan menabung untuk berbagi. Di Rumah Berbagi, kami biasa memberikan pelatihan baking, cooking, dan crafting, akan tetapi anggota dan sekaligus para pengajar di Rumah Berbagi memiliki latar belakang yang beragam: ada manager, ada PR, ada guru, dan lain sebagainya. Artinya apa? Title pekerjaan kita tidak menghalangi kita untuk memiliki kemampuan lebih. Semisal kita bekerja di Dinas Pertanian, kita juga bisa membuat aneka masakan atau membuat aneka kerajinan yang layak jual. Kita bisa menggali potensi lain dari diri kita. Kita bisa menjadi Guru Berkarier. Kita bisa mendukung masyarakat berdaya dan sejahtera lewat karya.