Apa yang muncul di benak Bapak/Ibu saat mendengar kata “National Geographic”? Apakah sesuatu yang berbau alam? Atau sesuatu yang mengajak kita untuk menghidupi alam? Tidak ada yang salah! Namun, bagaimana jika “National Geographic” menjadi salah satu media pembelajaran? Bagaimana kita bisa merelasikannya dengan kehidupan sekitar, terutama pada anak?AWAL:
Bahasa Inggris sebagai bahasa yang mendunia, sudah bukan lagi ‘bermerk’ British atau American saja, namun budaya dari berbagai penjuru dunia menjadi bagian dalam perkembangan bahasa Inggris di abad ini.
National Geographic Learning sebagai sumber belajar Bahasa Inggris membantu fasilitator dan peserta didik untuk bereksplorasi, meneliti, berpikir kritis, serta mengambil peran penting dalam membentuk pemahaman dunia di sekitar mereka. Dunia yang sudah bukan lagi terkotak-kotak, namun sudah terhubung satu dengan yang lain.
Abad 21 ini, menghantarkan kita pada sebuah kenyataan bahwa peserta didik nantinya tidak akan bersaing dengan sesamanya saja, namun juga perlu memahami benar tantangan di masa depan. Tidak hanya perlu bermodalkan kemampuan bahasa yang dapat menghubungkannya dengan dunia, namun juga perlu memiliki kemampuan berpikir kritis untuk bisa memahami ‘keterbatasan’ kecerdasan buatan (AI).
Dengan memiliki pondasi untuk berpikir secara kritis, anak dapat mengembangkan cara berpikir mereka untuk merelasikan semua aspek yang mereka temui. Peran saya sebagai fasilitator adalah dengan membersamai anak untuk meningkatkan rasa penasaran mereka dan membersamai untuk tidak takut salah saat menggunakan bahasa Inggris. Saya percaya bahwa jika anak memiliki kepercayaan diri saat menggunakan Bahasa Inggris dan terbiasa mengembangkan rasa penasarannya terhadap sesuatu, maka ia pun dapat meraih ilmu pengetahuannya sendiri.
TANTANGAN:
Seringkali pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah masih berupa kegiatan yang diwarnai dengan menerjemahkan, bukan menghidupi bahasa dan melatih peserta didik dalam menggunakan bahasa tersebut sesuai dengan konteks terdekat mereka. Selain itu, Bahasa Inggris itu sendiri belum menjadi kebiasaan, keseharian dan alat komunikasi, melainkan masih sebuah kewajiban untuk menyusun tata bahasa secara baik dan benar.
Nyatanya, saat digunakan dalam berkomunikasi, Bahasa Inggris tidak melulu mengenai grammar dan tenses. Ada banyak hal baik yang dapat dilakukan dan dipelajari, baik untuk peserta didik maupun fasilitator/guru, salah satunya adalah dengan menggunakan gambar yang menggugah dan memoderatori diskusi kelas untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
Hanya saja, masih banyak anak yang merasa takut berbicara dalam bahasa Inggris karena kebiasaan ‘harus benar’, ‘tidak boleh salah’, ‘malu’, ‘takut’ dan lain sebagainya. Selain itu, peserta didik masih menggunakan metode menerjemahkan, sehingga saat diminta untuk berbicara dalam bahasa Inggris, mereka tergagap-gagap mencari ide dalam bahasa Indonesia, menerjemahkannya ke bahasa Inggris dan baru memunculkan kata-kata secara lisan (belum lagi jika masih memikirkan apakah tata bahasanya sudah benar atau belum).
Walaupun anak masih terbata-bata, atau belum berbicara menggunakan susunan kalimat lengkap, fasilitator menjembataninya dengan menggunakan sumber belajar National Geographic Learning yang sarat dengan ‘gambar yang hidup dan membuat anak penasaran’.
Selain itu, penggunaan buku cetak/sumber belajar yang kerap menjadi batasan ruang gerak guru/fasilitator dalam mengajar. Apalagi dengan bentuk grafis/warna yang monoton, tak dapat merepresentasikan dunia di sekitar kita.
AKSI:
Pada praktiknya, pembelajaran National Geographic Learning telah menyajikan aspek visual dan multimedia seperti gambar hasil bidikan fotografer profesional, video interaktif dengan penutur asli yang dapat menjadi role model yang baik untuk anak melafalkan kata, tema dan cerita yang berkaitan dengan sejarah, kisah atau budaya tertentu, dan permainan yang berhubungan dengan tema.
National Geographic Learning ini memang tak sama dengan sumber belajar lain. Justru jika digunakan dengan tepat dan dikembangkan dengan merdeka, NGL ini seperti memecah batasan klasik antara “bahasa Inggris yang terkotak-kotak: Reading, Writing, Grammar, Listening, Speaking” dan “konteks dunia nyata”.
Representasi visual yang disajikan oleh NGL sangat apik dan menarik, juga sarat makna. Hal ini yang memungkinkan gambar-gambar tersebut yang menjadi pemantik untuk anak berbicara dalam bahasa Inggris. Anak dapat berbicara dengan 1 kata, 1 frasa, 1 kalimat yang berelasi dengan apa yang ada di gambar, baik secara spesifik maupun secara umum (big picture).
Visual yang disajikan oleh National Geographic Learning ini, justru tidak membatasi ruang gerak saya sebagai fasilitator. Dengan mendengarkan apa yang mereka utarakan, saya dapat memahami cara berpikir anak. Dari situ saya dapat melihat kebutuhan mereka, kemudian mengkaji ulang apa yang dapat saya lakukan untuk membantu mereka. Dengan pendekatan dan kedekatan yang tercipta, kepercayaan dalam relasi guru-murid tercipta, kemudian kepercayaan diri anak pun timbul.
PERUBAHAN:
Melalui materi National Geographic Learning, yang dapat digunakan mulai kelas 1 SD hingga SMA, anak dapat lebih mengenal dan menghargai keanekaragaman dunia, baik secara geografis maupun budaya. Melalui diskusi di dalam kelas, saya mengajak anak untuk tidak lagi hanya memperhatikan penggunaan bahasa Inggris sebagai ‘penugasan tata bahasa’, melainkan menjadikan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Komunikasi di sini yang saya refleksikan adalah bagaimana kita berusaha membuat lawan bicara kita memahami apa yang kita sampaikan. Terkadang usaha tersebut tidak harus berupa penggunaan struktur kalimat yang lengkap dan kompleks atau tenses yang penuh rumus-rumus.
Juga, dengan menyajikan sumber belajar yang multimodal, kita dapat menjembatani diferensiasi belajar di kelas, mengintegrasikan berbagai skills bahasa Inggris dan memotivasi anak saat menggunakan bahasa Inggris.
Dengan penggunaan representasi visual yang menarik, anak dapat terpantik berbicara, meningkatkan pemikiran kritisnya yang mana dari jawaban yang mereka berikan, terkadang mereka perlu memikirkan argumen dan tujuannya.
Dengan mengajak anak untuk merelasikan gambar dan memantik pikiran kritis anak-anak, mereka tidak lagi mengandalkan metode ‘menerjemahkan’. Mereka belajar menggunakan bahasa Inggris tanpa harus memikirkan kesalahan yang mungkin bisa mereka lakukan di tata bahasa dan terjemahan.
Kejelian dalam memilih sumber belajar dan kemampuan untuk merefleksikan sumber belajar ini, membuka ruang gerak seluas-luasnya bagi guru/fasilitator untuk mendampingi anak belajar bahasa Inggris.