Temu Pendidik Nusantara XII

Select Language

Memahami Profil Murid, Memerdekakan Pembelajaran

Praktik baik Sebelum Direvisi

[revisi_terbaru]

Elaborasi Praktik Baik

Saya adalah seorang guru Bahasa Inggris di pedesaan. Dulu saya menggunakan cara konvensional untuk memotivasi murid dengan menerapkan reward and punishment. Harapannya, agar mereka lebih senang dan mudah dalam memahami pelajaran. Sayangnya, hanya sebagian kecil yang termotivasi. Ada yang biasa-biasa saja. Ada yang sangat senang ketika melihat temannya mendapat punishment. Bahkan, ada yang justru merasa bangga ketika dirinya mendapatkan punishment. Mereka terkesan mencibir aturan kelas dan sengaja melanggar untuk mengalihkan perhatian teman-temannya.

Saya berpikir bahwa hal ini tidak efektif. Saya terus memikirkan apa hal utama yang menyebabkan mereka mengalami kesulitan dan kurang tertarik dalam belajar bahasa inggris? Bagaimana cara agar mereka senang belajar bahasa Inggris, mudah memahami pelajaran, serta  dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan?

Tak sedikit di antara murid kami, acuh tak acuh terhadap pelajaran bahasa Inggris. Ada yang menganggap tidak penting belajar bahasa Inggris, “Toh, kita di desa bercakap-cakap menggunakan bahasa daerah,” begitu pikir mereka. Ada juga yang berbuat usil ketika pelajaran bahasa Inggris karena tidak mengerti apa yang sedang dipelajari. Ada juga yang keluar-masuk bergantian meminta izin dengan alasan ingin pergi ke WC, tapi sebenarnya mereka belok ke kantin atau ke tempat lain untuk menghindari pelajaran ini.

Selesai mengajar saya kembali ke ruang guru dalam keadaan murung. Saya terus merenung memikirkan di bagian mana letak kesalahan saya. Saya juga mengingat-ingat satu persatu karakter murid yang kurang baik di kelas. Ada yang sangat aktif, tapi aktifnya bukan dalam mengikuti pelajaran. Mereka sibuk sendiri dan membuat keributan sehingga mengganggu temannya. Ada yang sangat pasif. Tidak diketahui bagaimana reaksinya maupun daya tangkapnya terhadap materi yang saya ajarkan.

Saya pun memberanikan diri untuk berdiskusi dengan teman sejawat. Saya menceritakan apa yang telah saya alami di kelas. Ternyata mereka pun mengalami hal yang sama. Kami terus mendiskusikan berbagai cara. Kami pun mengikuti kegiatan pengembangan profesi. Hingga akhirnya kami diberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan bimbingan teknis guru pendamping khusus bagi murid berkebutuhan khusus di sekolah. Dari materi bimbingan teknis tersebut ternyata kami baru menyadari bahwa sekolah kami adalah sekolah inklusi yang menerima murid dengan berbagai latar belakang dan karakteristik. Bahkan ada di antara mereka yang memiliki disabilitas tertentu.

Inilah yang menyebabkan aktivitas pembelajaran sering terganggu karena ternyata ada beberapa murid yang mengalami disabilitas dianggap sebagai murid normal dan diberikan pelajaran yang sama rata. Dalam pembelajaran yang inklusif ini merupakan kesalahan yang sangat fatal. Kami pun mulai mengambil langkah untuk melakukan identifikasi terhadap murid kami yang dicurigai mengalami disabilitas dengan melakukan asesmen. Kami merasa sangat perlu untuk mengetahui profil murid sebelum pembelajaran agar dapat memetakan rencana pembelajaran sesuai kebutuhan mereka.

Saya melakukan asesmen diagnostic kofnitif dan non kognitif terlebih dahulu. Di sini saya tercengang. Ternyata ada salah satu murid yang sangat pasif ketika saya lakukan asesmen, ia tidak dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Murid ini hanya diam saja sedangkan teman yang lainnya mantertawakan dengan sangat keras dan mengucapkan cibiran-cibiran lainnya.

Saya mencoba menenangkan supaya kelas tidak gaduh. Seusai pelajaran saya memanggil murid tersebut dengan guru lain untuk berdiskusi dengan bahasa daerah yang mudah dipahami. Di sini kami mendapati bahwa murid tersebut tidak bisa membaca. Dia juga menderita multidisabilitas. Kombinasi dari disleksia, diskalkulia, dan disgrafia. Dia hanya mampu mengenali dan menulis 4 huruf yaitu N-I-S-A. Ketika saya tanya dengan nada bercanda, apakah itu nama murid perempuan yang dia suka, dia hanya tersenyum. Dari sini mulailah murid ini terbuka dan sedikit berbicara dengan bahasa daerah.

Ada pula murid lain yang dikenal sebagai anak paling nakal di sekolah, ternyata dia memiliki keunikan yaitu CIBI (cerdas istimewa bakat istimewa). Dia memiliki cara yang berbeda dalam menyelesaikan permasalahan, baik dalam pelajaran maupun dalam hal-hal lain. Itulah kenapa dia sering membuat sesuatu yang terlihat aneh dan mengundang perhatian temannya. Dia bisa menyelesaikan tugas lebih cepat dari yang lain namun setelah itu dia berjalan berkeliling kelas hingga berkeliling dari satu ruangan ke ruangan yang lain karena bosan.

Dari fakta-fakta di atas saya pun merasa bersalah karena menganggap semua murid adalah sama. Padahal masing-masing anak memiliki keunikan dengan daya tangkap pembelajaran yang berbeda. Saya lalu membuatkan materi khusus yang berbeda untuk dua murid dengan disabilitas ini. Untuk murid dengan multidisabilitas, saya menurunkan tujuan pembelajaran, konten materi, serta bentuk evaluasi pembelajarannya lebih rendah dari apa yang diamanatkan dalam kurikulum dan silabus pembelajaran. Saya juga menggunakan media dan bahan ajar yang berbeda. Saya melakukan pendekatan secara personal kepada murid tersebut untuk betul-betul mendampingi apa yang dibutuhkannya dalam pelajaran.

Sedangkan bagi murid yang memiliki disabilitas CIBI saya memberikan materi yang lebih tinggi dengan bentuk evaluasi pembelajaran yang lebih rumit agar dia bisa berpikir lebih mendalam lalu mengajari temannya. Sesekali saya juga memintanya role-play menjadi guru untuk materi tertentu dan dia sangat bangga dengan posisi tersebut. Nampak dia sangat senang dan mengatakan pada temannya yang selama ini melabeli dirinya sebagai anak nakal dengan mengatakan, “Saya lebih pintar sebenarnya dari kamu, jangan macam-macam dengan saya,” kalimatnya itu pun disambut dengan gelak tawa dan tepuk tangan dari teman sekelasnya. Saya mengingatkan agar tidak menjadi orang yang sombong namun tetap memberikan apresiasi kepadanya.

Perlahan saya melihat perubahan yang ada di kelas. Ucapan-ucapan perundungan tidak lagi nyaring terdengar. Malah satu sama lain kadang saling mengapresiasi jika mereka lebih dahulu dapat memecahkan permasalahan dalam pembelajaran. Mereka pun saling bekerja sama untuk menuntaskan tugas kelompok dan saling mengingatkan jika terjadi kesalahan.

Dari pengalaman ini kami mendapatkan pelajaran berharga bahwa dengan memahami latar belakang murid yang beragam, murid dan guru dapat saling berempati satu sama lain. Jika dahulu sering ada label bahwa anak yang tidak belajar adalah anak yang nakal atau bodoh, kami pun menyesali kalimat tersebut. Saya semakin menyadari bahwa sebagai pemimpin dalam pembelajaran tidak boleh berhenti belajar. Banyak hal yang belum kita ketahui dalam menghadapi kondisi murid yang berbeda latar belakang dan karakteristiknya. Dengan asesmen pembelajaran untuk memahami profil murid, semakin memudahkan dalam melaksanakan pembelajaran yang memerdekakan murid.

 

Jika Anda mengalami kendala dalam scrolling, scroll di luar dari area Live Chat yang berwarna hitam.