Menjadi editor tulisan merupakan sesuatu yang tidak terbayangkan sebelumnya. Latar belakang pendidikan menjadi faktor utama yang membuat saya tidak terbayang menjadi seorang editor pada akhirnya.
Sebelum menjadi editor, saya suka gemes dan “gatal” kalau membaca tulisan yang “berantakan”. Bisa jadi isinya bagus, tetapi penulisannya kacau. Ini mengurangi kenikmatan saya dalam membaca. Saya sering heran dan bertanya dalam hati: kenapa menulisnya seperti itu? Hehehe … memang, tulisan saya juga tidak sempurna. Namun, ketika menemukan banyak kesalahan dalam sebuah tulisan, rasanya kok ingin sekali membantu penulisnya. Kalau sebuah tulisan yang isinya bagus, terus enak dibaca, kan jadi bersemangat untuk melahapnya.
Pintu menjadi editor profesional terbuka ketika saya mendapat tawaran dari sebuah penerbit nasional. Wow! Saya sendiri tidak percaya dengan hal tersebut. Bagaimana tidak? Saya sama sekali belum tahu seluk-beluk dunia penyuntingan.
Setelah saya pikir-pikir, kesempatan seperti ini akan jarang saya temui. Lagi pula, ini seperti jawaban atas keresahan saya ketika membaca tulisan yang belum rapi. Oke, akhirnya saya ambil kesempatan itu.
Namun, tantangan besar langsung hadir di depan saya. Begitu bergabung dengan korps editor penerbit tersebut, saya langsung disuruh mengedit buku. Tanpa babibu, tanpa basa-basi.
Waduh! Saya tercenung. Bagaimana saya memulainya? Ya, tak ada jalan lain, selain belajar menjadi seorang editor. Tak ada yang mengajari, tak ada yang menyuruh, saya belajar karena memang butuh.
Bagaimana hasilnya? Luar biasa. Hahaha … Saya banyak melakukan kesalahan penyuntingan. Kapok? Jera? Ya tentu saja iya. Maksud saya, jera melakukan banyak kesalahan. Bukan jera jadi editor, ya.
Banyak melakukan kesalahan pada masa awal menjadi editor membuat saya melakukan refleksi. Saya sadar, ilmu tata bahasa saya sangat dangkal. Saya nekat menjadi editor hanya berbekal kegemaran membaca dan menulis.
Jelas sudah area yang harus saya kembangkan. Saya perkuat pengetahuan saya dalam bidang kebahasaan.
Proses menjadi editor yang berkembang terbantu oleh dukungan dari teman-teman editor lain. Mereka banyak membantu saya dengan memberi umpan balik yang legit.
Untuk menguatkan kepercayaan diri, saya mengambil sertifikasi editor profesional. Alhamdulillah, berhasil mendapat sertifikat sebagai editor profesional.
Kemampuan yang saya peroleh dari proses belajar menjadi editor ini tidak semata saya gunakan dalam ranah profesional (berbayar). Saya sadar bahwa tujuan pertama saya adalah membantu para penulis agar karya mereka semakin layak dipublikasikan. Oleh karena itu, saya meluangkan waktu untuk menjadi editor gratisan. Surat Kabar Guru Belajar (SKGB) menjadi saluran utama saya dalam membantu guru-guru penulis.
Selain itu, saya juga mengedit tulisan praktik baik guru-guru yang terhimpun dalam antologi. Biasanya mereka adalah anggota Komunitas Guru Belajar Nusantara (KGBN). Ada beberapa antologi anggota KGBN yang sudah saya edit.
Perjalanan menjadi editor, yang saya mulai dari titik nol, menyadarkan saya tentang arti penting seorang editor. Selama ini, peran editor jarang terekspos. Bahkan, profesi editor jarang terdengar. Yang dikenal adalah penulis atau pengarang. Padahal, peran editor juga cukup berarti.
Hal itu membuat saya─dalam banyak kesempatan─mengenalkan diri sebagai editor. Bukan untuk dihargai, tetapi mengedukasi banyak kalangan bahwa sebuah tulisan, terutama buku, merupakan hasil kerja keras banyak pihak. Harga sebuah buku bukan sebatas harga kertas dan biaya cetak. Buku yang ada di hadapan kita sudah menempuh perjalanan panjang. Banyak mendapat sentuhan tangan beberapa pihak.
Dari awalnya tidak terbayang, saya menemukan titik terang. Menjadi editor adalah kesempatan saya membantu guru-guru berbagi praktik baik, berbagi pengalaman, dan berbagi opini. Saya bahagia menjadi bagian dari proses pengembangan karier guru penulis.
Lebih dari itu, menjadi editor juga membuat kemampuan menulis saya kian berkembang. Saya bisa belajar dari artikel ataupun buku yang saya edit. Tidak saja mempelajari gaya penulis, saya juga mendapat banyak insight dari tulisan-tulisan mereka.
Menarik, bukan?
Seperti halnya profesi yang lain, diperlukan kompetensi untuk jadi seorang editor. Yang utama, harus mencintai buku, gemar membaca dan menulis. Kalau yang pertama ini tidak ada dalam diri kita, lebih baik tidak mencoba menjadi editor.
Kedua, mempunyai pengetahuan yang luas. Editor tidak sekadar mengurusi tata bahasa dan aspek kebahasaan lainnya. Editor perlu jeli melihat fakta-fakta yang muncul dalam sebuah tulisan, bisa berupa nama, kejadian, waktu, ataupun hal lainnya. Fakta tersebut tidak boleh salah.
Ketiga, mempunyai rentang aktivitas dan rentang konsentrasi yang tinggi. Kebayang, kan, harus “memelototi” tulisan, melihat huruf per huruf sambil mikir? Perlu daya tahan dan konsentrasi yang tinggi.
Keempat, jangan baperan. Membaca tulisan orang lain bisa jadi menghadirkan emosi yang mengaduk-aduk perasaan. Berbeda-beda penyebabnya. Bisa tulisan yang super-berantakan, bisa juga isinya yang begitu menyentuh atau memprihatinkan.