Dulu kami kira masalah terbesar dalam pendidikan adalah rendahnya kompetensi guru. Tapi makin lama berkawan dengan guru-guru dari seluruh penjuru Indonesia, kami menemukan bahwa masalah utamanya bukan pada kurangnya keterampilan—melainkan pada rasa tidak berdaya. Guru yang merasa tak punya kuasa. Tak berani bersuara. Tak yakin punya ruang untuk belajar.

Mereka bukan tidak mampu, tapi terlalu sering disuruh. Disuruh ikut pelatihan ini, wajib ambil program itu, dikirimi modul dari atas sana yang katanya sudah pasti benar. Top-down dan serba seragam, seakan guru hanya pelaksana, bukan perancang. Seakan pembelajaran itu urusan atasan, bukan bagian dari identitas guru itu sendiri.

Di titik itulah kami sadar: perubahan tidak akan datang dari satu dua pahlawan pendidikan bersayap. Perubahan datang ketika guru-guru biasa mulai percaya bahwa mereka bisa belajar, dan belajar bisa mengubah segalanya.

Dan karena itu, kami tidak menunggu Superman.

Kami menunggu Guru Belajar.

Guru Belajar bukan gelar, bukan juga jabatan. Guru Belajar adalah mereka yang terus mengasah rasa ingin tahu meski jadwal padat, yang membuka ruang belajar baru meski tak ada perintah. Mereka yang rela saling berbagi praktik baik meski tidak dapat insentif, yang mencoba hal baru di kelas walau belum tentu berhasil.

Mereka tidak mengenakan jubah, tapi mereka menolong murid memahami dunia. Mereka tidak punya laser dari mata, tapi mereka menembus batasan dengan kolaborasi. Mereka tidak terbang, tapi mereka mengangkat harapan—harapan bahwa pendidikan bisa manusiawi dan bermakna.

Gerakan Temu Pendidik Nusantara membuktikan ini. Dimulai dari satu pertemuan kecil, kini menyebar ke lebih dari 82 daerah. Bukan karena mandat dari atas, tapi karena guru saling mengundang. Bukan karena anggaran besar, tapi karena semangat yang menular. Para guru belajar dari guru lain, bukan dari modul yang dipaksakan. Mereka membangun komunitas belajar, bukan hierarki baru. Mereka menemukan bahwa perubahan tidak harus heroik, cukup konsisten, sederhana, dan dilakukan bersamaBaru – Naskah Pidato UN….

Kami belajar tiga hal dari para Guru Belajar.

Pertama, guru butuh kemerdekaan belajar. Bukan kebebasan tanpa arah, tapi ruang untuk memilih jalur belajar yang sesuai konteks mereka. Saat guru mengatur sendiri langkah belajarnya, rasa memiliki tumbuh, motivasi pun menyala.

Kedua, guru tak bisa belajar sendirian. Komunitas adalah ekosistem tumbuh yang menjaga semangat tetap hidup. Bukan sekadar kumpul, tapi saling berbagi, saling menguatkan, dan saling mengingatkan: bahwa kita tak sendiri dalam upaya ini.

Ketiga, inovasi tidak datang dari poster besar atau jargon baru. Ia tumbuh perlahan dari praktik sederhana yang dibagikan secara sukarela. Inilah bentuk transformasi yang sesungguhnya—pelan tapi mengakar, kolaboratif dan kontekstual.

Kami tidak anti kebijakan. Tapi kami tahu, kebijakan terbaik pun akan gagal bila guru tidak dilibatkan. Kami percaya, peran pemerintah adalah menciptakan ruang aman untuk guru belajar. Peran lembaga adalah merancang sistem yang mendukung inisiatif lokal, bukan menindihnya.

Dan peran kita semua? Menjaga semangat itu tetap menyala. Mengakui bahwa pendidikan bukan proyek cepat saji, tapi perjalanan panjang membangun manusia.

Maka jika Anda bertanya, “Apa strategi terbaik memperbaiki kualitas pendidikan kita?” Jawaban kami: Berikan ruang belajar untuk guru.

Kalau Anda bertanya, “Siapa yang harus memimpin perubahan pendidikan?” Jawaban kami: Guru itu sendiri.

Dan kalau Anda bertanya, “Apa yang kami tunggu?”

Jawaban kami:

Kami tidak menunggu Superman. Kami menunggu Guru Belajar. 

Kami menunggu Anda semua, kami menunggu Guru Belajar untuk hadir pada Temu Pendidik Nusantara. 

Terima kasih sudah menyimak. Saya Bukik Setiawan, teman Guru Belajar.

Mari terus belajar bersama—karena masa depan pendidikan tak datang dari langit, tapi tumbuh dari ruang kelas kita sendiri.

Jika Anda mengalami kendala dalam scrolling, scroll di luar dari area Live Chat yang berwarna hitam.