Pembelajaran yang berpusat pada murid, menekankan perlunya memahami profil dan melakukan personalisasi pembelajaran. Memahami profil murid dapat menggunakan asesmen diagnosis. Namun, apakah Anda merasakan kebingungan mengenai apa yang perlu dilakukan selanjutnya? Anda berpikir keras dan terdiam, tidak punya ide kegiatan yang akan Anda lakukan di kelas untuk mewujudkan personalisasi pembelajaran.
Asesmen Diagnosis adalah asesmen untuk belajar yang dilakukan oleh guru pada awal pembelajaran dengan tujuan untuk mengatur strategi setelah mempelajari kompetensi dan proses perkembangan belajar sesuai kebutuhan setiap murid. Guru melakukan asesmen diagnosis untuk lebih mengenal murid. Namun, seringkali Guru merasakan kebingungan dalam menindaklanjuti data dan informasi yang didapatkan dari asesmen diagnosis. Lantas apa langkah selanjutnya yang harus dilakukan Guru untuk bisa melakukan personalisasi pembelajaran, terutama untuk kelas dengan jumlah murid yang banyak?
Pada tanggal 20 April 2021, Obrolan Guru Merdeka Belajar membahas mengenai topik “Setelah Diagnosis, Lalu Apa yang Dapat Dilakukan?” bersama narasumber Febriandrini (Andri) dari Sekolah Lazuardi Al Falah Kabupaten Klaten dan Imelda Hutapea (Imelda) dari Johns Hopkins Center for Communication Program. Obrolan ini dipandu oleh Rani Indriyani Kusumah yang merupakan seorang pelatih dari Kampus Guru Cikal. Mereka membahas lebih mendalam mengenai bagaimana tindak lanjut yang dapat dilakukan setelah melakukan asesmen diagnosis (Assessment for learning).
Baca Juga: Asesmen Diagnosis: Trik Jitu Supaya PJJ Tidak Lesu
Tentunya jika membahas mengenai tindak lanjut dari asesmen diagnosis perlu untuk mengetahui awal mula dari proses tersebut, yaitu perencanaan strategi ketika akan melakukan asesmen diagnosis. Guru Imelda menceritakan pengalamannya ketika merancang strategi untuk asesmen diagnosis di kelasnya. Menurutnya strategi yang bisa dilakukan salah satunya adalah pengamatan, dengan memberikan pertanyaan yang memantik diskusi, pertanyaan reflektif, menggunakan simbol-simbol dan benda yang bisa mengingat konsep lalu, sehingga guru dapat mengetahui capaian pembelajaran yang sudah dicapai oleh murid. “Dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan itu, guru dapat mengamati kira-kira murid perlu dipaparkan materi yang mana” jelas Guru Imelda.
Kemudian Guru Andri menganalogikan kegiatan asesmen diagnosis dengan perjalanan antar kota, “Misalnya saya ingin mengajak murid jalan-jalan dari Klaten ke tempat Bu Imelda di Jakarta. Murid paham bahwa saya akan membawa mereka ke Jakarta, ini yang harus benar-benar mereka ketahui. Lalu, kan saya di Klaten nih, asesmen diagnosis ini seperti saya memastikan posisi murid-murid ini ada di mana. Apakah mereka di Klaten, apakah ada di Solo, Boyolali, atau di Jogja? Sehingga apa saya harus jemput mereka dulu atau bagaimana?”
Guru Andri menjelaskan bahwa analogi perjalanan antar kota itu sama dengan ketika guru melakukan asesmen diagnosis. Murid harus tahu terlebih dahulu tujuan dari pembelajaran di kelas. Dengan asesmen diagnosis, guru memastikan terlebih dahulu sudah sampai dimana pemahaman dan kemampuan murid. Dari situlah guru bisa menentukan strategi yang tepat untuk personifikasi pembelajaran setiap murid nantinya.
Setelah melakukan asesmen diagnosis, guru akan mendapatkan data atau informasi dari kegiatan asesmen yang telah dilakukan. Data yang didapatkan ini biasanya masih berupa data ‘mentah’ yang harus diolah terlebih dahulu. Guru Imelda berpendapat bahwa setiap guru memerlukan kemampuan untuk mengelompokkan dan menganalisis data. Guru perlu membuat rubrik penilaian dan mengetahui unsur apa yang ingin diketahui, sehingga kemudian bisa digunakan untuk mengetahui cara/gaya belajar murid.
“Dari mengerjakan soal cerita misalnya, murid ternyata belum memahami materi atau menyelesaikan soalnya tidak lengkap. Nah, kita (sebagai guru) harus tahu dulu nih yang mau kita lihat apanya (dari hasil diagnosis). Apakah ini cuman soal kurang teliti? Kurang memahami konsepnya? Atau gaya belajarnya? Barangkali ada anak-anak yang mungkin mempunyai gaya belajar kinestetik itu kurang terfasilitasi.” cerita Guru Imelda.
Guru Andri melanjutkan dengan menanggapi Guru Imelda, ia mengatakan bahwa selain melihat hasil data asesmen diagnosis dari sisi murid, guru terkadang sering lupa untuk melakukan refleksi terhadap kompetensi dirinya, “Misalnya tadi dari hasil asesmen, anak itu butuh mengenai kompetensi A. Untuk bisa mengajarkan kompetensi A itu, gurunya ini sudah kompeten apa belum? Guru harus ngelihat ke dirinya sendiri juga. Oh, murid saya itu butuh ini, jadi saya perlu mempersiapkan apa.” terang guru Andri.
Menurutnya, sangat penting ada daya dukung dari guru dan sekolah agar tujuan pembelajaran murid bisa tercapai, “Daya dukung dari kompetensi guru dan daya dukung sekolah ini, bisa memfasilitasi proses belajar untuk murid atau tidak. Kita selalu melihatnya anaknya yang tidak bisa, padahal apakah kita sudah bisa memfasilitasi?” lanjut Guru Andri.
Ketika memetakan murid dari hasil asesmen diagnosis untuk melakukan personalisasi pembelajaran, perlu dibuat dengan sangat spesifik. Hasil yang spesifik bisa didapatkan dari analisa jawaban murid, memperhatikan cara kerja murid, dan menggali lebih dalam tentang pemahaman murid melalui pertanyaan refleksi, “Ketika murid memahami suatu konsep, guru perlu tahu seberapa jauh tingkat pemahaman murid tersebut. Misalnya (murid) yang satu baru melihat semata-mata data, yang kedua ada dua fenomena namun belum dapat menarik relasinya, yang ketiga sudah paham melihat data, melihat antar konsep dan tahu bagaimana menjelaskan kaitan antara keduanya.” jelas Guru Imelda.
Dari pemetaan murid yang dilakukan, guru tentunya perlu menyesuaikan kembali pembelajaran yang akan dilakukan agar bisa memfasilitasi belajar murid sesuai dengan kebutuhannya “Awalnya saya pikir saya harus mengajarkan materi teks A, teks B, teks C. Akhirnya dari asesmen diagnosis, saya jadi paham murid di kelas saya ini butuhnya apa. Nanti dari sisi konteksnya, pada saat proyek baru saya masukkan berbagai macam teks yang memang menjadi target dari pembelajaran murid.” cerita Guru Andri.
Guru Andri menegaskan bahwa setiap murid memiliki tahapan perkembangan kognitifnya masing-masing, “Saya selalu sampaikan itu, tolong kalau menghadapi sesuatu jangan pakai asumsi dulu. Maksudnya, kita selalu berasumsi bahwa anak SMP, misal gitu ya, sudah pasti dia bisa nulis. Enggak. Memang betul kita mempunyai tahap perkembangan anak yang bisa dijadikan patokan. Tapi jangan dijadikan ‘pasti semua anak begitu’, ada yang memang anak sudah bagus sekali, ada yang memang harus dibantu, ada yang didorong, ada yang harus di cemplungin dulu. Nah itu perlu kita petakan satu persatu.” jelas Guru Andri.
Karena murid memiliki kebutuhan belajar yang berbeda-beda, pembelajaran di kelas tentunya tidak bisa lagi disamaratakan. Tantangan selanjutnya adalah, apakah mungkin melakukan personalisasi pembelajaran di kelas yang jumlah muridnya banyak? Guru Imelda menerangkan bahwa seringkali masih terjadi miskonsepsi bahwa personalisasi hanya sebatas RPP, padahal personalisasi lebih daripada hal itu, “Jadi ketika kita bicara soal personalisasi belajar sebenarnya sering banget ada miskonsepsi juga. Personalisasi belajar itu kalau dimaknai secara awam mungkin ‘berarti saya harus bikin RPP buat tiap anak tuh, kan murid ada 30 anak’. Kita harus pahami dulu, ketika anak sekecil apapun mereka, kelas 1 atau kelas 2 SD sebenarnya anak-anak itu sudah harus kita ajak untuk menjadi agen-agen yang aktif dalam kegiatan belajarnya. Ajak anak untuk meninjau tujuan belajarnya, kita perlu mencari strategi diferensiasi untuk menyampaikan pembelajaran.”
“Anak-anak ini perlu dilibatkan. Disitulah letak personalisasinya. Ketika kita membuatkan cara, murid perlu diajak untuk sama-sama mencapai tujuan tersebut. Anak-anak perlu mengetahui tujuan belajar. Bagaimana perasaannya mengenai tujuan belajarnya. Kita perlu menjadikan pembelajaran itu menjadi bersifat personal untuk anak-anak. Kita perlu menggugah motivasi belajarnya.” jelas Guru Imelda. “Personalisasi belajar di kelas yang jumlah muridnya banyak itu sangat mungkin.” tutup Guru Imelda.
Menurut Guru Andri, personalisasi belajar di kelas yang jumlah muridnya banyak berarti merupakan kesempatan guru untuk belajar lagi, “Jika murid di kelas jumlahnya besar sekali, berarti teman-teman harus mulai berubah. Mulai cari cara. Bagaimana caranya? Kita bisa membuat personalisasi itu.”
Proses belajar merupakan proses yang personal. Guru perlu merancang strategi pembelajaran sesuai kebutuhan murid. Ketika guru sudah mengetahui kebutuhan murid, maka guru juga perlu meningkatkan kompetensinya agar bisa memfasilitasi murid. Ketika guru bisa membuat pembelajaran menjadi personal bagi setiap murid, maka akan lahir pembelajaran yang lebih bermakna dan berdampak.
Saksikan obrolan lengkap dari Obrolan Guru Merdeka Belajar
“Setelah Diagnosis, Lalu Apa yang Dapat Dilakukan?” di bawah ini: